Sertifikasi Guru, Berkah atau musibah?

Sertifikasi Guru, Berkah atau musibah?

Oleh : Tri Djoko Heranto guru Sman1 Purwokerto





Membaca KOMPAS, Kamis 12 Agustus 2007, ”Tunjangan Profesi Dibayar Bulan Oktober”, saya merasa sangat prihatin. Mengapa demikian. Ya, sebab dalam tulisan itu begitu kentara betapa tidak berharganya guru di mata birokrasi pendidikan, termasuk di mata DEPDIKNAS sendiri.
Coba bayangkan! Pertama, telah terjadi perampasan atas hak-hak guru yang nota bene telah sekolah dari jenjang SPG sampaipun kuliah di Fakultas Keguruan dan kemudian mampu memiliki AKTA atau DIPLOMA mengajar tetapi tiba-tiba tidak diakui status keprofesian mereka. Kedua, guru-guru yang telah mengajar berpuluh tahun, tiba-tiba tidak pernah dianggap profesional. Ketiga keprofesian mereka hanya dihargai sebatas kertas-kertas yang disusun untuk berkas yang tidak pernah bisa jelas. Ini semua bersumber pada berbagai permasalahan yang muncul di dalam dunia pendidikan yang bermuara pada rendahnya mutu SDM kita.
Kelahiran Undang Undang Guru dan Dosen pada awal Desember tahun 2005 (UU No. 14 Tahun 2005), mestinya bisa dijadikan momentum untuk mengangkat derajat profesi guru dan bukan untuk memunculkan berbagai pertanyaan menggelitik terutama berkaitan dengan sertifikasi guru dan dosen. Ada beberapa sebab mengapa pertanyaan itu muncul. Pertama, benarkah persoalan pendidikan kita cukup kita hadapi dengan melakukan sertifikasi guru dan dosen? Kedua, mungkinkah sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan harapan pemerintah yang pada mulanya berencana akan dituntaskan dalam kurun waktu sepuluh tahun, tapi kemudian rencana itu berubah sesuai kepentingan penafsiran undang-undang para pengambil kebijakan? Ketiga, apa dampak yang mungkin terjadi dengan sertifikasi itu sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan di atas cukup beralasan untuk dikemukakan, sebab per-soalan pendidikan sebenarnya bukan sekadar persoalan guru. Banyak faktor yang ikut mempengaruhi pasang surut gerak pendidikan kita. Setidaknya terdapat sejumlah komponen pokok pendidikan yang perlu dicermati, dari guru, sistem – terutama ber-kaitan dengan regulasi – pendidikan yang ada, masyarakat dan juga dunia global.
Guru, memang menjadi kata kunci dalam persoalan pendidikan kita, juga di manapun di dunia. Meski kita tidak bisa menafikan persoalan yang lain, tetap saja kita tak dapat menolak bahwa gurulah yang pertama-tama harus diperhatikan. Untuk itu tulisan ini memfokuskan diri pada guru yang berkaitan dengan sertifikasinya.

Apa dan Mengapa sertifikasi?
Pasal 1 poin 11 dan 12 UU Guru dan Dosen mengatakan bahwa, sertifikasi adalah: proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru. Sementara sertifikat sendiri adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada guru sebagai tenaga profesional (Undang Undang No. 14 Tahun 2005). Yang menjadi pertanyaan adalah; bukankah selama ini sebenarnya hampir semua guru telah memi-liki apa yang disebut dengan akta ataupun diploma yang pada dasarnya adalah bukti legalitas dan pengakuan terhadap profesi keguruan mereka, yang pada saatnya men-jadi salah satu syarat pengangkatan sebagai guru. Persoalan dasarnya adalah bahwa sertifikasi dikenakan kepada semua guru. Mengapa?

Sertifikasi dan Permasalahan Guru
Ketentuan umum (Pasal 1 poin 1) Undang Undang Guru dan Dosen mengata-kan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mem-bimbing, mengarahkan, melatih menilai dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan me-nengah (UU No. 14 Tahun 2005). Artinya, guru adalah mereka yang selama ini telah aktif mendidik dan mengajar pada pelbagai jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Sampai di sini persoalan menjadi sangat aneh. Persoalannya adalah Undang Undang Guru dan Dosen ini sebenarnya untuk siapa?
Perlu dipahami, pertama, guru yang selama ini telah melaksanakan tugas di dunia pendidikan sebenarnya guru yang telah melalui berbagai proses penyiapan. Untuk menjadi seorang guru, seseorang tidak bisa begitu saja mengikuti dan menempuh sembarang proses di lembaga pendidikan tinggi. Artinya, untuk menjadi seorang guru diperlukan spesifikasi yang bersifat khusus. Spesifikasi khusus ini pada umumnya telah dipenuhi oleh hampir semua guru yang sekarang aktif, misal syarat pendidikan, terlepas persoalan mereka masuk ke lembaga pendidikan tinggi kepen-didikan karena pelarian atau tidak diterima di perguruan tinggi favorit. Lalu dike-manakankah persyaratan yang pernah mereka sediakan untuk memenuhi tuntutan pemerintah pada waktu mereka hendak menjadi guru.
Kedua, guru yang sekarang aktif pada umumnya juga telah memenuhi keten-tuan untuk menjadi guru yang diberlakukan oleh pemerintah pada masanya. Artinya, berbagai persyaratan yang diperlukan untuk diangkat menjadi guru – terutama PNS - telah mereka penuhi, baik itu ketentuan akademik, pedagogik ataupun ketentuan lain yang diperlukan pada saat mereka bakal diangkat. Termasuk di dalamnya persyaratan dan bukti keprofesian mereka. Bukankah D4 atau A4 dan sejenisnya yang mereka peroleh ketika mereka kuliah di LPTK itu merupakan sertifikat bukti profesi “kegu-ruannya”? Secara yuridis, legal formal mereka adalah guru sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan. Dengan demikian seharusnya dikatakan merekalah guru, orang “terpantas” dan “terbaik” pada jamannya untuk diangkat menjadi guru, meski hal ini perlu didiskusikan kembali.
Sebenarnya kalau kita mau mencermati, UU No. 14 tahun 2005 tersebut, se-cara spesifik dipersiapkan untuk pengangkatan guru baru. Hal ini jelas tertuang dalam pasal 12 UU No. 14 th 2005. Kemunculan pasal 13 yang menuntut sertifikasi guru da-lam jabatan bisa dikategorikan sebagai bentuk pengingkaran dan pemaksaan pelak-sanaan UU No. 14 th 2005 ini atas guru yang telah aktif bertugas dan sekaligus pe-rampasan terhadap hak-hak atas pengakuan terhadap profesi keguruan mereka.
Ketiga, sertifikasi yang dipaksakan juga dikhawatirkan akan memunculkan ketimpangan yang lain. Pertama, hal ini berkaitan dengan tenaga teknis yang akan melakukan uji sertifikasi atas guru. Perlu diingat, sampai saat ini belum lagi cukup dosen di Indonesia yang secara legal formal sudah boleh disebut “dosen” bila kita mau mengingat UU No. 14 tahun 2005 ini. Mengapa? Karena sampai saat ini baru sebagian kecil dosen di Indonesia yang sudah disertifikasi secara “sah” (PP tentang sertifikasi belum dibuat) dan mendapat sertifikat sebagai dosen, sehingga kemampuan dan kelayakan pemerintah untuk melakukan uji sertifikasi secara teknis atas guru secara perlu dikaji kembali.
Yang kedua, uji sertifikasi yang dipaksakan akan membawa dampak yang sangat tidak kita harapkan terutama berkaitan dengan guru-guru yang belum meme-nuhi kualifikasi pendidikan minimal D4 atau S1. Dikhawatirkan akan terjadi sebuah peristiwa di mana guru-guru berlomba-lomba mengejar status D4 atau S1 tanpa memperhatikan kelayakan sebuah LPTK yang ada. Yang penting dapat status D4 atau S1, tak peduli bagaimana ‘menebusnya’. Kondisi ini akan dimanfaatkan oleh LPTK yang tidak bertanggung jawab dengan menyelenggarakan program penyetaraan D4 atau S1 sekenanya. Bila ini terjadi, tidak hanya hak guru untuk diakui keberadaannya sebagai guru diabaikan dan dikurbankan, bahkan profesi guru sungguh telah dileceh-kan secara masif oleh LPTK tersebut. Pelecehan semacam ini jelas melanggar pasal 39 ayat 4 UU No. 14 tahun 2005.
Disadari sepenuhnya, bahwa guru yang ada sekarang kemungkinan besar sudah tidak sesuai dengan harapan masa kini. Tetapi bukan berarti pemerintah bisa secara sewenang-wenang membatalkan begitu saja keprofesian guru. Bahkan dengan pensertifikasian makin menegaskan sikap pemerintah yang tidak konsisten atas keten-tuan yang pernah diberlakukannya sendiri. Lebih dari semuanya, dengan sertifikasi bukan berarti akan mampu merubah dan meningkatkan kwalitas guru dari “tidak bermutu” menjadi “bermutu”, apa lagi menuntaskan persoalan pendidikan yang ada sebab permasalahan guru hanya merupakan salah satu permasalahan pendidikan kita.
Ketiga, secara teknis sertifikasi atas semua guru yang oleh pemerintah diimpi-kan bisa diselesaikan dalam kurun waktu sepuluh tahun, tetapi kebijakan itu kemudian berubah, adalah sesuatu yang sangat tidak rasional. Impian ini, bahkan UU No. 14 tahun 2005, bisa dikatakan sebagai impian, bahkan juga undang undang yang kontra – kalau tidak boleh dikatakan ‘anti’ – realitas. Sekitar 2,7 juta guru (Jalal: 2006) disertifikasi – di luar dosen - dalam kurun waktu sepuluh tahun. Fantastis!
Bagaimana tidak? Dengan LPTK yang konon hanya 47 –yang kwalitasnya tidak semua bisa dipertanggung-jawabkan dan belum tentu layak untuk melaksanakan sertifikasi - sekitar 2,7 juta guru disertifikasi. Dengan demikian setiap LPTK harus mengurus tak kurang dari 5.000 guru dalam setahun baik untuk sertifikasi maupun untuk penyesuaian kualifikasi akademik.
Dalam kenyataan jumlah guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik cukup besar. Bahkan bisa dikatakan sangat besar. Guru yang telah memenuhi kuali-fikasi akademik D4 atau S1 sebagian terdapat di tingkat pendidikan menengah atas baik SMA maupun SMK atau sederajat, tetapi masih pada kisaran angka 70 %. Sementara untuk guru SD, SLTP atau sederajat yang telah memenuhi kualifikasi akademik D4 atau S1 baru pada kisaran angka 30 % guru, yang nota bene populasi guru terbesar justru di SD dan SLTP. Padahal salah satu syarat untuk bisa mengikuti uji sertifikasi adalah, guru harus sudah memenuhi kualifikasi akademik D4 atau S1 (Jalal: 2006), dan sekarang ditambahakan kecuali yang telah memiliki masa kerja di atas 20 tahun.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, dikemanakankah proses penyiapan generasi baru guru diupayakan? Padahal guru yang bakal pensiun dalam sepuluh tahun mendatang mencapai lebih dari 300000 orang (Jalal: 2006). Benarkah LPTK yang ada untuk kurun waktu yang sepuluh tahun itu tidak menerima mahasiswa baru yang merupakan calon guru baru yang pasti sangat dibutuhkan di masa berikutnya, sebab LPTK-LPTK tersebut harus menangani sertifikasi guru dalam jabatan dan persiapannya?
Di sisi lain, sertifikasi di lapangan sangat potensial melahirkan konflik hori-sontal antar guru di unit kerja-unit kerja yang ada. Konflik horisontal antar guru pasti terjadi, sebab sertifikasi bermuara pada penghasilan. Rivalitas antara guru yang sudah tersertifikasi dan yang belum akan menajam seiring dengan perbedaan insentif yang diterima.
Masih ada masalah lain yang menghadang berkaitan dengan uji sertifikasi, ketentuan mengajar minimal 24 jam setiap minggu. Mengapa mesti 24 jam setiap minggu? Ketentuan semacam ini, jelas tidak menggambarkan kondisi riil lapangan. Mestinya bukan jumlah jam yang dipergunakan untuk bisa mengikuti uji sertifikasi sebagai syarat, tapi berapa siswakah yang harus diampu oleh seorang guru dalam seminggu.
Hal ini tidak bisa diabaikan. Seperti halnya tuntutan yang terdapat di dalam UU No. 20 tahun 2003 tetang SISDIKNAS, pendidikan yang baik hendaknya mampu mengembangkan kemampuan siswa secara holistik. Tidak hanya sepotong-sepotomg. Untuk bisa mencapai hal itu, idealnya seorang guru mestinya hanya mengampu sekitar 80 – 100 siswa setiap minggu. Itupun sebenarnya sudah sangat berlebihan.
Persoalan mendasar yang sebenarnya terjadi di dunia pendidikan kita adalah bagaimana membangun sebuah keadaan yang secara real mampu memberikan sebuah gambaran bahwa profesi guru adalah profesi yang terhormat dan bermartabat. Lebih dari itu harus ada kenyataan bahwa profesi guru adalah profesi yang bermasa depan. Dengan demikian diharapkan profesi guru menjadi impian bagi generasi yang cerdas berkwalitas. Di sini lah sebenaranya titik krusial permasalahan kita.
Meski demikian, perubahan penggajian guru – katakanlah gaji guru diangkat dan ditingkatkan – dilaksanakan, rasanya itu belum cukup. Kenaikan gaji perlu diser-tai dengan penyediaan peraturan yang mampu memberi jaminan bahwa guru adalah profesi tunggal dan satu-satunya bagi seseorang. Seorang guru tidak boleh memiliki pekerjaan sambilan, apa pun alasannya! Dia harus menentukan pilihan. Jadi guru dan satu-satunya atau tidak.
Ada sisi lain yang juga sangat menyedihkan atas perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap guru. Kebanyakan guru mengetahui dan merasakan hal ini tetapi tak mampu berbuat sesuatu. Kesempatan pendidikan untuk guru terlalu kecil bila dibanding dengan profesi lain yang sejenis, katakan dibanding dengan dosen. Hal ini berdampak pada kurangnya minat orang untuk menekuni profesi guru dan sekaligus rendahnya mutu pendidikan kita. Ujung-ujungnya kembali ke masalah klasik. Mereka yang kurang mempunyai kemampuanlah yang akan masuk ke dunia kerja yang kurang menjanjikan itu. Celakanya lapangan kerja bernama: Guru!
Keempat, guru-guru yang sekarang bertugas perlu segera dipikirkan kembali keberadaannya. Guru yang telah begitu lama bekerja dalam situasi yang monoton dan tanpa perubahan nasib bisa jadi sudah mengalami kejenuhan, atau bahkan stagnan. Kalau saja ini benar terjadi, upaya apapun yang dilakukan pemerintah kemungkinan besar bakal menemui jalan buntu. Oleh sebab itu perlu dipikirkan kemungkinan dibu-kanya pensiun dini besar-besaran bagi guru untuk beberapa lama, terutama bagi guru yang sudah sulit untuk berkembang. Tak perlu menunggu sampai usia pensiun. Sudah barang tentu guru-guru yang dipensiunkan dini diberi semacam reward yang pantas atas segala jerih payahnya selama ini – kalau bukan semacam pesangon dan pensiun seperti pada BUMN misalnya.

Akhir kata

Dari uraian di atas jelaslah bahwa sertifikasi guru sebenarnya tidak bakal mampu menyelesaikan persoalan pendidikan kita. Apa lagi sertifikasi dilakukan atas seluruh guru di Indonesia, jelas tidak akan mampu diselesaikan seperti harapan pemerintah. Dan, yang lebih penting lagi, mana kala sertifikasi tidak dilaksanakan secara serentak, justru akan memunculkan situasi yang kontraproduktif sebab sangat potensial memunculkan konflik horisontal..
Berdasar kenyataan-kenyataan yang terungkap di atas maka sebaiknya peme-rintah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.
Sertifikasi hanya diberlakukan untuk rekrutmen guru baru. Undang Undang tidak berlaku surut.
Bila tetap harus dipaksanakan, sertifikasi tidak diberlakukan untuk semua guru yang sudah melaksanakan tugas, tapi pada guru yang bermasa kerja lima tahun ke bawah, walau di sini terjadi kesewenang-wenangan pemerintah.
Sertifikasi diberlakukan sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki oleh guru aktif yang sekarang ada.
Tingkatkan penghasilan/gaji guru, agar menarik minat generasi muda cerdas berkualitas untuk menjadi guru.
Ciptakan peraturan yang memaksa seseorang hanya berprofesi sebagai guru bagi mereka yang memang ingin menjadi guru.
Untuk jangka pendek, pensiunkan guru-guru yang sudah mencapai titik jenuh perkembangan dan buka kesempatan seluas-luasnya untuk menarik generasi baru yang mumpuni, baik secara intelektual maupun tekadnya untuk menjadi guru.

Oleh: Tri Djoko Heranto


Mau Yang HOT HOT