Fisika Tanpa Rumus, bohongkah?

Fisika Tanpa Rumus, bohongkah?




Anak saya (kelas VII SMP) baru saja mengikuti pelatihan Fisitaru (Fisika tanpa rumus) yang diselenggarakan sebuah bimbingan belajar terkenal. Dengan bangga ia memberitahu saya bahwa ia dapat mengerjakan soal-soal fisika walau tidak tahu rumusnya. Kesan pertama wah hebat, tapi menurut saya ini sangat menyesatkan! Bagaimana mungkin siswa bisa memahami fisika dengan baik kalau tidak diperkenalkan konsep dan rumusnya.
Anehnya cara promosi seperti itu sangat jitu untuk merebut hati pelajar yang kebanyakan jelas ingin mendapatkan cara-cara instan dalam menyelesaikan soal-soal fisika. Bahkan andai ada pelatihan bagaimana mengerjakan matematika tanpa perlu berhitung dan logika pasti akan laris manis banyak peminatnya.
Bagaimana mungkin fisika yang sudah dari sananya memang didasarkan atas konsep-konsep yang hampir setiap bagiannya dipenuhi logika dan keteraturan yang kemudian dijadikan rumus. Kesalahannya memang selama ini pada pengajaran fisika oleh guru-guru fisika yang kebanyakan maunya instan saja. Barangkali sebutan bahwa soal fisika bisa diselesaikan tanpa rumus itu hanya cocok ketika menghadapi soal-soal ujian nasional ala Indonesia. Soal ujian yang hanya berupa pilihan dengan 5 alternatif jawaban tanpa meminta penyelesaian atau prosedur kalkulasinya. Nah apakah seorang siswa bisa menjawab soal-soal yang sifatnya essay kalau tanpa rumus seperti yang diajarkan dalam pelatihan-pelatihan seperti itu?
Sebenarnya boleh-boleh saja menggunakan cara itu namun jangan sampai lupa mengajarkan dan menjelaskan konsep serta asal muasal mengapa sampai didapat cara yang disebut Fisitaru itu. Hanya mengandalkan logika saya khawatir anak akan semakin kecanduan dan akhirnya sesat dalam pola belajar dan memahami fisika itu sendiri.
Sebagai contoh soal rangkaian  listrik seperti berikut:
Perhatikan gambar di bawah ini ! Jika hambatan elemen dan hambatan kawat diabaikan, maka nilai kuat arus I adalah…
rangkaian paralel

Rumus untuk menentukan I = V/R —- dimana 1/R disusun secara paralel yang bisa ditentukan dengan cara menjumlahkan 1/3 + 1/6 + 1/4 = (4+2+3)/12 = 9/12 dan V diketahui sebesar 12 V, dengan demikian I dapat ditentukan = 12 V x 9/12 ohm = 9 ampere.
Cara anak saya menjelaskan ke saya soal di atas adalah dengan menandai angka 3 ohm ditandai dengan angka 4, angka 6 ohm ditandai dengan angka 2, angka 4 ohm ditandai dengan angka 3 (ini merupakan kelipatan persekutuan terkecil dari angka 3, 6, dan 4), kemudian dari angka penanda itu dijumlahkan begitu saja dan 9 itulah jawaban atas soal tadi. Tanpa saya tanya apa hubungan angka 12 volt tadi, dan saya mengangguk-angguk saja :)
Ketika anak saya tanya bagaimana jika besaran ohm itu diganti dengan angka 5 ohm, 2 ohm, dan 4 ohm dengan tegangan tetap 12 volt. Anak saya (VII SMP) yang dengan pede tadinya bisa menjelaskan dari contoh soal di atas jadi klimpungan untuk menjawab soal yang saya berikan dengan bentuk rangkaian yang sama. Mungkin anak saya yang tidak memperhatikan penjelasan dari tutor-nya. Maklum juga itu adalah pelajaran ipa fisika yang seharusnya dipelajari saat kelas IX SMP.
Nah karena si anak tidak memahami asal muasalnya ketika soal diubah sedikit saja maka ia akan mengalami kebingungan karena tidak ada dasar atau pijakan konsep yang mantap. Cara Fisitaru ini cocok diperuntukkan bagi siswa yang akan menghadapi UN tetapi tidak bagi siswa yang belum mempelajari apa yang memang belum pernah ia pelajari.
Apa yang terjadi berikutnya? Fisika yang dikira mudah ternyata tetap saja memerlukan tenaga ekstra, waktu ekstra, kesabaran dan ketekunan yang ekstra harus rajin berlatih juga, mengulang dan mengulang lagi. Tidak ada cara instan dalam mempelajari sesuatu.
Memang dalam setiap rumus jika diaplikasikan untuk menyelesaikan soal pasti akan diperoleh keteraturan-keteraturan, dari keteraturan kemudian dibuat kesimpulan yang akhirnya diperoleh cara-cara baru dalam menyelesaikan soal fisika yang kemudian mereka namai fisika tanpa rumus. Tidak menggunakan rumus namun diperoleh dari mengamati rumus. Celakanya siswa kalau tidak memahami tentu akan menyebabkan kebingungan di kelak kemudian hari. Layakkah yang seperti ini diteruskan?
Saya sudah coba cari informasi di luar sana tentang menyelesaikan soal fisika dengan tidak menggunakan rumus, tidak satu pun saya jumpai. Ini memang unik hanya ada di Indonesia sepertinya. Yang patut dipertanyakan mengapa mereka di luar sana tidak menggunakan cara-cara seperti itu? Apakah mereka lebih bodoh daripada kita di Indonesia? Ini adalah pertanyaan mendasar. Atau karena kita saja yang terlalu pintar sampai orang lain, bahkan negera penghasil ilmuwan fisika besar pun tidak tahu cara menyelesaikan soal fisika dengan tanpa rumus? Atau karena saya yang cupet pengetahuan menggunakan google sehingga tidak mendapatkan informasi bahwa di luar sana ada yang menyelesaikan soal fisika dengan tanpa rumus?
Sekali lagi layakkah ini kita lanjutkan, kita tanamkan di kepala siswa Indonesia? Menurut pengamatan saya, inilah kelemahan soal-soal ujian di Indonesia yang mengagungkan soal ujian dengan model multiple choice sehingga melahirkan kekreatifan, semua jadi ada triks penyelesaiannya namun konsep akhirnya lepas.  Lain ceritanya kalau soal tidak hanya berbentuk multiple choice seperti selama ini. Yakin trik seperti itu kurang laku. Bahkan pada kurikulum 2013 terdapat indikasi bahwa soal-soal ujian di sekolah tidak boleh hanya menggunakan multiple choice seperti yang tersirat pada pernyataan mendikbud hari ini di sini.
Saya tidak mengatakan triks yang diberi nama Fisitaru itu bohong, ini merupakan hasil kekreatifan dengan memanfaatkan kelemahan sistem ujian yang menggunakan multiple choice. Semestinya ditekankan ke siswa bahwa itu hanya bisa diterapkan ketika menghadapi soal multiple choice dan tetap harus diingatkan bahwa rumus tetap penting dan tidak boleh tidak diperhatikan. Apakah masih tetap perlu memakai cari seperti itu kalau sistem ujian diubah? CMIIW
Wassalam,

sumber : http://urip.wordpress.com

Mau Yang HOT HOT