Abg Montok Narsis Toket Gede Manghstaab - foto bugil, foto telanjang, foto hot abg bugil, foto bugil abg bispak dan tante girang dan ada juga foto memek besar kontol besar dan cerita dewasa panas hot, tante bugil, Model Bugil, Toket Abg, Memek Abg, toket tante, model bugil , memek tante, toge besar bagi yang belum dewasa silahkan meninggalkan blog ini karena melihat foto bugil tante girang memek basah dan foto bugil telanjang ABG bispak sangat dilarang !!
Ok langsung saja kita simak beberapa foto Abg Montok Narsis Toket Gede Manghstaab Dan semoga sangat menghibur kalian semua.
Mau Yang HOT HOT
Home » Posts filed under cerita sexs remaja dewasa
Tampilkan postingan dengan label cerita sexs remaja dewasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita sexs remaja dewasa. Tampilkan semua postingan
CERITA DEWASA TERBARU ~ TUBUHKU DI OBRAL SUAMIKU SENDIRI
CERITA DEWASA TERBARU ~ TUBUHKU DI OBRAL SUAMIKU SENDIRI ~
Tidak menunggu lama, John langsung mengajak mereka makan bersama. Aku sedikit gugup makan satu meja bersama mereka, karena aku tidak tahu apakah mereka hanya sekedar teman, atau mitra kerja John. Sambil makan mereka masih terus berbicara, entah apa yang dibahas mereka, namun sedikit tidak nyaman bagiku, karena sebentar-bentar mereka melirik ke arahku. Firasatku malah menjadi tidak enak ketika mereka berdua tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuat mereka ketawa, apakah John menceritakan kisah lucu atau apa, aku kurang tahu. Nafsu makan ku pun mulai hilang, aku pun kemudian minta ijin kepada John untuk kembali ke kamarku. Namun John sedikit tersinggung, ia malah ngoceh terhadapku seolah-olah aku tidak menghargai teman-temannya. Setelah ku jelaskan dengan sedikit kebohongan bahwa aku kurang enak badan, akhirnya aku pun diperbolehkan meninggalkan ruangan makan.
Aku pun langsung menghempaskan tubuhku di atas kasur, sedikit capek juga karena menyiapkan makanan yang cukup banyak. Ranjangku dengan John yang menjadi saksi bisu akan percintaan kasar kami ini sunggub terasa empuk. Ku pandangi ke arah kanan, lemari pakaian John terbuka sedikit, aku pun bangkit untuk mencoba menutupnya. Pakaian John tergantung rapi dan harum, aku jarang sekali membuka lemarinya, karena John yang selalu mengurusnya, bahkan mencuci dan mensetrika pakaiannya dilakukan oleh pembantu rumah tangga kami. Ternyata pintu lemarinya tak tertutup rapat karena terganjal sesuatu, saat ku cek di bawah tumpukan bajunya ternyata ada sebuah buku tebal yang sedikit tertarik keluar menahan tertutupnya pintu.
Aku mengambil buku itu dan ku tutup kembali lemari pakaian John. Ku bawa ke dekat ranjang untuk membacanya sambil tiduran. Aku sangat penasaran dengan buku ini, karena tampak sangat seperti sebuah buku harian. Aku pun tiduran untuk membacanya, ternyata benar, ini adalah diary milik John. Aku ternyata kaget dengan apa yang tertulis di buku itu. Kisah hidupnya tertulis singkat sebelum ia mengenal aku hingga sekarang ini.
Aku terdiam membaca tulisannya, ia adalah seorang playboy sebelumnya, bahkan dia juga sering menyewa wanita bayaran untuk memenuhi nafsu birahinya. Hampir tiap malam dia selalu berburu wanita tuna susila yang mampu ia bayar berapa pun asalkan John senang. Aku sedikit penasaran dengab pekerjaannya, uangnya tidak habis-habis walaupun ia selalu main perempuan. John tidak menuliskan pekerjaannya di sini, sepertinya ia lebih tertarik menuliskan hubungan percintaannya.
Halaman demi halaman ku buka hingga cerita ketika ia bertemu denganku. Aku sedikit kecewa dengan tulisannya, John jatuh cinta pada pandangan pertama karena wajahku yang oriental tampak polos baginya. Dan ia juga bilang tidak sia-sia menikahiku karena aku selalu patuh padanya, serta melayani nafsunya setiap malam walau dengan gaya yang kasar. Ya, John selalu demikian, hubungan seks kami selalu dengan paksaan, aku juga mengerti kalau dia seorang yang maniac. John lebih menikmati percintaan kami dengan gaya seperti bondage, aku diikat baik di tangan, di kaki ataupun seluruh tubuhku, kadang aku di ikat di ranjang, di meja, di kursi, bahkan di ikat menggantung ke atas. Bukan hanya itu, John juga menampar pipi, payudara, dan pantat ku untuk meningkatkan kepuasannya. Jika sudah tidak tahan dengan rintihanku, ia pasti melakban mulutku dengan isolasi atau menyumpalnya dengan celana dalamku. Saking hypernya, ia membeli peralatan seks untuk membantunya, seperti penis mainan yang berbagai macam tipe dan ukuran.
Membaca tulisannya, aku mengetahui bahwa John juga sadar dengan penyakitnya ini, ia juga menuliskan bahwa ia sebenarnya kasihan dengan penderitaanku terhadap perlakuannya. Walaupun kasar begitu, ia sayang denganku. Halaman berikutnya juga menuliskan hubungan seks kami dengan berbagai cara yang tiap malamnya berubah.
Halaman selanjutnya ditulis sangat berantakan, tulisannya cukup kasar seperti orang yang sedang emosi, dan penuh coretan, di sana tertulis ia sedang tersandung masalah hukum. Kini aku mengetahui latar belakang pekerjaannya setelah sekian lama ia merahasiakannya dariku, ia ternyata seorang bandar judi dan bandar narkoba. Di sini disebutkan alamat tempat ia menjadikan markas telah digeledah polisi, semua barang haramnya disita. Ia harus bolak-balik ke kantor polisi untuk membuat laporan yang kian belum tuntas. Sudah puluhan miliar ia cairkan dana untuk menghindarkannya dari balik jeruji besi. Aku hampir menangis membaca penderitaan yang ia alami, kenapa harus John rahasiakan dariku.
John tidak mau aku mengetahui bisnis haramnya, ia tidak mau aku kecewa dan sedih. Bahkan uang simpanannya sudah habis untuk membebaskannya, kini hutangnya menumpuk, dan ia masih merahasiakannya dariku. Wajahnya yang tiap hari tersenyum ternyata merahasiakan masalah sebesar ini. Bahkan tanah, rumah dan kendaraan telah John gadaikan untuk membayar hutang-hutangnya. Aku langsung menangis membaca tulisannya ini. Tak sempat membaca halaman selanjutnya, aku pun bangkit karena mengingat anak perempuanku yang sedang tidur di kamar sebelah. Tidak ada yang aku khawatirkan selain dia, jika John memang jatuh bangkrut, setidaknya aku harus melakukan sesuatu agar Chelsea tidak menderita.
Bermaksud ke kamar sebelah untuk melihat Chelsea, tiba-tiba langkahku terhenti. Belum sempat membuka pintu, tiba-tiba gagang pintu bergerak, seseorang membukanya dari arah luar. "John...", kataku ketika melihat ternyata suamiku yang muncul di balik pintu. John pun masuk kemudian mendekatiku, "Are you oke?" tanya John sambil memegang dahi ku. Ia terlihat sungguh perhatian padaku, "I'm fine..." jawabku. Namun niat ku ingin melihat anakku Chelsea sedikit terganggu dengan munculnya John, gerak-geriknya membuatku penasaran. John mendekati arah lemari, ia mengeluarkan sebuah tas besar dari balik lemari dan segera memasukkan semua pakaiannya dalam tas itu. Sepertinya John ingin melarikan diri. Aku sangat takut dengan keadaan seperti ini, dengan wajah pucat aku pun bertanya, "What are you doing?..". Ia hanya sibuk mengemas kopernya tersebut dan lalu berkata, "I must go...". Sungguh keadaan yang sangat menyulitkan, ia masih menyembunyikan kebangkrutannya padaku, ia bilang ia dapat bisnis di luar negeri, dan ini mendadak sekali. Katanya ini adalah tawaran dari Hamid dan Karim, dua pria yang masih sedang asik ngobrol di ruang makan. Entah benar atau tidak, kata John ini adalah bisnis besar. Apa ini masih sebuah kebohongan untukku?
Selesai mengemas kopernya ia lalu merapikannya di atas ranjang. Oops, aku kaget karena buku diary John masih tertinggal di ranjang dan belum sempat aku kembalikan ke tempat asalnya. John langsung terdiam melihat buku diary yang ada di atas ranjang kami tersebut. Aku tidak berani buka mulut, aku bingung dengan keadaan ini, dan tidak tahu apa yang harus ku perbuat. John lalu tertunduk dan meneteskan air mata, "Hiks... Hiks... I'm sorry..." ia meminta maaf padaku. Aku iba sekali lalu mendekatinya untuk mencoba menghiburnya. John akhirnya menceritakan masalahnya, ia benar-benar bangkrut, bisnis haramnya itu telah hancur, kini ia harus memperbaiki kehidupan. Ada bisnis besar yang akan merubah nasib kami kata John. Dan kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, John harus segera berangkat ke luar negeri. Aku cuma diam dan menyemangatinya, John pun kembali tersenyum, dadanya kembali membusung tegak, ia berdiri dan mengecup keningku, "Bye honey... See you later...". Aku meneteskan air mata karena akan merindukannya beberapa saat, John belum tahu berapa lama bisnis itu akan selesai.
Aku tidak mengantarnya keluar, aku hanya merapikan kembali isi lemari yang tadinya berantakan karena John buru-buru mengambil bajunya. Buku diary miliknya pun aku kembalikan ke asalnya. Hmm, semoga John bisa kembali ke jalan yang benar. Padahal tadi aku sudah berpikir akan pergi dari sini, paling enggak ya kembali ke kampung halamanku. Tapi John bilang akan segera melunasi hutangnya dan memintaku untuk bersabar. Aku pun berdoa sejenak untuk keteguhan hati John agar dia bisa melewati beban ini dengan baik.
Ku lihat dari balik jendela, mobil John keluar dari halaman, mereka akan berangkat untuk mengerjakan bisnis mereka. Aku sedikit lega dengan masalah John, aku pun kembali ingin ke kamar sebelah menemui anak perempuanku, Chelsea Olivia, yang sedang tidur. Namun betapa kagetnya aku ketika muncul dua sosok dari balik pintu sebelum aku keluar kamar. "Hamid?... Karim?...", aku kaget karena dua orang ini menghalangi pintu keluarku. Kenapa mereka tidak ikut John berangkat ke airport? Belum sempat menanyakan mengapa, tiba-tiba mereka mendorongku masuk kembali ke kamar. Perasaanku tidak enak, mereka tersenyum gembira sambil berbicara entah bahasa apa.
Aku gelagapan melihat mereka berjalan mendekatiku. "Get out from my room!", teriakku marah. Namun mereka tersenyum sambil melepaskan jas mereka. Mereka lalu berbicara kepadaku dengan bahasa mereka, aku sungguh tidak mengerti, tapi kemudian si Hamid melanjutkan dengan sedikit bahasa inggris, "Your husband sell this house include you..." katanya sambil tersenyum dengan giginya yang putih. "Hahahaha...", si Karim tertawa lebar sambil mendekatiku. Badanku gemetaran takut merrka berbuat sesuatu yang menyakitiku, aku pun segera lari ke arah pintu keluar. Damn, Hamid berhasil menghadangku dan menarik tanganku, ia kembali mendorongku hingga jatuh terlentang di atas ranjang. Apa yang dilakukan John kepadaku? Apa dia tega menjualku? Aku lalu meneteskan air mata membayangkan nasib yang menimpaku ini. Sedangkan kedua pria bertubuh besar berkulit hitam itu telah melepaskan semua busana mereka. Tubuh mereka sangat kekar, badan mereka berotot, si Karim memiliki tatto di lengannya, bahkan yang membuatku pucat adalah penis mereka yang sangat besar, melebih ukuran milik John.
Kedua orang yang berbadan seperti bodyguard itu mendekatiku, mereka tertawa girang. Mereka berkomunikasi dengan bahasa mereka yang tidak ku mengerti. Hamid lalu menangkap tanganku, ia mencoba menciumi bibirku, tapi aku memberontak hingga ia kesal lalu menamparku. Pipiku dicengkramnya agar ia bisa leluasa menciumi bibirku. Sedangkan si Karim dari bawah menyibak rokku, ia berusaha memplorotkan celana dalamku. "No!...", aku berusaha berteriak dan menendang-nendangkan kakiku, tapi Hamid sudah menciumi bibirku hingga aku tidak bisa teriak, dan ia mencekik leherku agar aku tidak melawan. Akhirnya Karim berhasil menarik turun celana dalamku, ia pun langsung menjilati vaginaku. "Ouh...", geli sekali. Sungguh sangat menjijikkan, di mana mulutku penuh dengan air liur Hamid, dan vaginaku dijilat oleh Karim dengan sedikit sentuhan bibirnya yang agak brewokan.
Ciuman Hamid kemudian di arahkan ke leher ku. Rambutku dijambak agar aku tidak bergerak. Tubuhku pun ditindihnya agar tidak melawan. Sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Aku hanya bisa menutup mataku dan merasakan hal buruk ini terjadi, daerah kewanitaanku sudah tidak dijilati, namun aku merasakan jari Karim meraba-raba dan ingin menusuk ke dalam lubang vaginaku. Sesuatu yang keras perlahan memasuki liang vagina ku. "Argh...", aku tersentak karena benda keras itu menusuk dengan kasar hingga ke dalam vagina, jarinya terasa mengoyak dinding vaginaku. Bukan satu jari, sepertinya ia menggunakan lebih dari dua jari untuk mengobok-ngobok vaginaku, sungguh sangat menyakitkan.
Sedangkan Hamid sudah bosan menciumi bibir dan leherku, ia menarik bajuku hingga koyak, aku benar-benar ketakutan. Seperti binatang kelaparan, Hamid langsung menarik bra-ku hingga bra-ku lepas dan memperlihatkan payudara ku yang tidak begitu besar. Binatang liar itu tidak mau menunggu lama, ia langsung meremas payudaraku dengan kasar. Sakit sekali karena Hamid meremasnya dengan kuat, ke dua buah payudaraku dicengkram erat seperti mau diremas hingga pecah. "Please... Leave me...", Hamid bukannya iba, ia malah memilin puting susu ku dengan jarinya. "Argh...", puting susu ku dicubit dan ditarik Hamid.
Beberapa menit sudah berlalu, vaginaku terasa perih karena tusukan yang terus-menerus oleh jari Karim. Tiba-tiba gerakan jari itu tidak terasa, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi karena Hamid masih menindihku dan menutupi pandanganku. Mungkin Karim capek dengan gerakan jarinya sehingga ia ingin istirahat.
Bosan meremas susuku, Hamid kemudian menciumi susuku, bahkan ia meyedot keras putingku dan sekali-kali menggigitnya. Tidak hanya itu, ia juga memberikan beberapa bekas cupangan di sekitar susuku. Putingku terasa sangat sakit karena digigit Hamid. Ingin rasa diriku bunuh diri saja daripada diperlakukan begini.
Hamid kemudian menyudahi kegiatannya, sepertinya ia sudah puas menikmati susuku. Ia kemudian berdiri, sehingga dengan jelas aku melihat Karim telah siap-siap ingin memasukkan penisnya yang besar panjang ke dalam vaginaku. Aku sangat ketakutan karena sebelumnya aku tidak pernah menjumpai penis sebesar itu. Aku berusaha bangun untuk menghindari semua ini, dengan cepat aku menendang Karim dan mendorong Hamid hingga terjatuh, segera aku berlari keluar kamar, aku tidak peduli dengan kondisi ku yang sudah telanjang bulat. Tapi langkahku terhenti, ternyata di luar kamar ramai dengan orang-orang berkulit hitam, sepertinya mereka adalah anak buah Karim dan Hamid. Mereka terlihat seperti preman, sedang asyik merokok sambil berjaga-jaga. Aku tak bisa lari lagi. Aku terdiam dan mereka hanya senyum-senyum sambil memainkan belati yang ada di tangan mereka. Hamid dan Karim pun keluar untuk menjemputku.
Aku hanya bisa menangis ketika mereka mendekatiku, Hamid kemudian maju dan menampar pipiku. Perih sekali rasanya pipiku, tak hanya itu, Hamid langsung menendang perutku hingga aku jatuh tersungkur. Kemudian Karim menjambak rambutku dan menariknya sehingga aku yang jatuh terlentang terpaksa segera berdiri dan mengikuti arah Karim, karena bila tidak, mungkin tidak hanya rambutku yang tertarik melainkan lepas bersama kulit kepalaku. Mereka memaksaku kembali ke kamar.
Aku teringat dengan Chelsea Olivia yang tidur di kamar sebelah, supaya mereka tidak ke kamar sebelah dan menyakiti anakku itu, aku terpaksa mengikuti kemauan mereka. Aku, Hamid dan Karim pun kemudian kembali ke kamar. Kami bertiga tidak berbusana sama sekali, penis mereka yang besar dan panjang bergelantungan seperti buah terong raksasa.
Mereka masih terus tersenyum senang karena mendapatkan mangsa lezat bagi mereka. Sebentar-bentar mereka menenggak liur dan memainkan lidah mereka seperta ingin melahapku. "Argh...", aku kesakitan ketika Hamid menjambak rambutku, ia bermaksud menyuruhku berjongkok dan mengulum penisnya. Cengkraman erat di kepalaku membuatku kesakitan dan aku terpaksa berjongkok untuk mengulum penisnya. 'Huek...', aku seperti mau muntah karena penisnya yang besar dan sedikit bau pesing. 'PLAKKK...', Hamid menampar pipiku agar aku tidak menolak permintaannya. Dari belakang Karim memegang pinggangku dan menariknya ke atas, aku sudah tahu maksudnya, ia pasti ingin menyodomiku. "No...!!!", teriakku sambil mencoba menggerakkan bokongku agar Karim tidak berhasil menusukkan penis jumbonya. 'Itu pasti sakit sekali', pikirku dalam hati. 'PLAKKK!!!' kini giliran Karim yang menampar pantatku, bergantian kiri dan kanan, perih sekali rasanya, kulit bokongku yang putih mulus pun sepertinya akan memerah.
Tidak depan mau pun belakang, aku terus ditampar agar melayani nafsu bejat mereka. Dan akhirnya penderitaanku pun dimulai, "ARGHHH....!!!", ujung anusku terasa sakit sekali, sebuah benda tumpul besar berusaha mengoyak liang anusku, sungguh menyakitkan apalagi dengan keadaan kulit kering begitu. Saat aku berteriak, mulutku pun disumpal penis Hamid yang bau pesing itu. Aku sungguh tidak tahan lagi, rasanya akan pingsan, badanku langsung lunglai, melihat demikian, Hamid berkata sesuatu ke Karim, dan Karimpun menarik kembali penisnya dari anusku. Mungkin Hamid melarangnya menyodomiku, ia langsung kembali menampar pipiku untuk memastikan aku terus terjaga.
Tak mau sampai aku kehilangan kesadaran, mereka kemudian kembali menggiringku ke ranjang, aku kembali dihempaskan ke atas tempat tidur. Karim yang sedari tadi tidak sabar langsung membuka selangkanganku, ia langsung menjebloskan penisnya ke vaginaku. 'Fuck!', pikirku dalam hati, karena Hamid pun tidak tinggal diam, ia naik ke atas tempat tidur dan melanjutkan kegiatan tadi, yaitu ingin aku menyepong rudal besarnya itu.
Tubuhku bergoncang kuat, vaginaku terus diobok-obok benda besar Karim, sedangkan mulutku tersumpal benda bau yang juga besar. Bukan hanya itu, sambil menikmati vagina dan mulutku, tangan mereka pun menjahili payudaraku. Susu ku diremas dengan kuat, puting susu ku pun dicubit, diplintir dan ditarik ke atas dengan kasar. "Oh yes... Oh no...", teriakan kegembiraan Karim yang semakin semangat memaju mundurkan pinggulnya. Vaginaku sudah terasa sakit sekali, perih banget, dinding-dinding vaginaku mungkin koyak karena lubang vaginaku tidak muat dengan penisnya yang besar.
Satu jam mungkin sudah berlalu, mereka masih sangat kuat, apa mereka menggunakan semacam obat kuat aku juga tidak tahu, yang jelas tubuhku sudah letih sekali. Karim sedari tadi terus memompa penisnya di dalam vaginaku dan belum sama sekali ia berejakulasi, mungkin karena sesekali ia memelankan gerakannya. Sedangkan Hamid sudah tidak mau aku sepong, sedikit lega untuk bernapas lebih segar, tidak menciumi penisnya yang bau itu. Hamid kini menyedoti ke dua payudara ku yang tidak begitu besar. Kulitku yang putih tampak semakin putih ketika dekat dengan dua orang berkulit hitam ini.
Karim kemudian menarik penisnya, ia sepertinya akan menyemprotkan spermanya, ia mengarahkan penisnya ke muka ku, lalu ia mengocok penisnya. Dan ternyata benar, spermanya banyak sekali menyemprot ke arah wajahku. Belum berhenti penderitaanku, Hamid segera menggantikan posisi Karim tanpa jeda. Sungguh malang sekali nasibku, tak di kampung sendiri bahkan di negeri orang, aku tetap diperlakukan seperti ini. Apa karena nasibku yang kurang bagus, diperlakukan kasar oleh teman bahkan suami sendiri, hingga John tega menjualku.
Karim kemudian meninggalkan kami, sepertinya dia sudah puas menyalurkan hasratnya. Dengan penuh air mata yang bercucuran, tubuhku masih berguncang kuat, Hamid sangat semangat memompaku. Hingga penglihatanku sedikit kabur, aku melihat bayang-bayang sekitar dipenuhi pria. Mungkin Karim memanggil teman-temannya yang tadinya sedang berjaga-jaga untuk masuk dan menikmatiku juga. Samar-samar aku lihat mereka sudah telanjang bulat semua, mungkin ada belasan orang, sama seperti Hamid dan Karim, kulit mereka gelap dengan penis yang sangat besar.
Setelah Hamid menarik penisnya dari vaginaku dan menyemprotkan spermanya di wajahku, para gerombolan itu pun mendekatiku, senyum bringas mereka benar-benar seperti merontokkan semangat hidupku. Aku akhirnya pingsan ketika seorang pria kembali memasukkan penis jumbonya ke vaginaku. Pandanganku gelap, tubuhku yang letih hanya terasa bergoyang sendiri. Banyak tangan yang menjamahi tubuhku, hingga aku benar-benar terlelap dan hilang kesadaran.
Saat aku terbangun, sekitarku sudah sepi, badanku sakit semua, tubuhku penuh dengan cairan sperma, hingga rambutku sudah acak-acakan. Vaginaku yang paling perih, entah sudah berapa belas batang penis jumbo yang sedari tadi mengoyak-ngoyaknya.
Aku segera bangkit dan menuju kamar mandi, segera ku bersihkan diriku, aku sudah tak sempat bersedih, ini kesempatanku kabur, yang kupikirkan adalah untuk keluar dari rumah ini. Cepat-cepat ku cari pakaian di lemariku, segera kupakai dan menuju ke kamar anakku, Chelsea Olivia, syukur dia masih baik-baik saja, tertidur dengab nyenyak. Aku segera membangunkannya dan mengajaknya keluar. Rumah sepertinya kosong, entah kemana gerombolan orang berkulit hitam itu. Saat keluar dari pintu rumah, aku segera menelpon temanku yang bekerja di agen penerbangan, aku menyuruhnya menyiapkan tiket untuk pulang ke kampung halamanku. Aku dan Chelsea berjalan menjauhi rumah laknat itu. Cara jalanku sudah berbeda, karena selangkanganku masih terasa sangat sakit. Chelsea sedikit keheranan melihatku, aku terus berbicara padanya agar ia tidak ketakutan. Sambil berjalan aku menunggu kabar temanku, dan ya, ada seat kosong, malam ini aku akan terbang kembali ke Indonesia, tempat kelahiranku. Aku pun meminta temanku memesankan taksi untuk menjemputku di tempat yang sudah cukuo jauh dari rumah. Ku sms Herman, 'Aku malam ini pulang, tolong jemput...', ia satu-satu nya teman yang bisa kembali aku berharap.
'Oke, sebelum check in, kabari saja' balas Herman yang kembali menyemangatiku. Hingga aku pun sampai di airport dan segera lepas landas menuju asalku. Semoga aku masih diberi kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. The End.

Cerita Dewasa Terbaru ~ Tubuhku Diobral Suamiku Sendiri ~ Kedatangan Herman sungguh mengembalikan perasaanku yang dahulu kala pernah mencintainya. Walaupun ia hanya beberapa hari liburan di sini, namun aku sangat bahagia sekali. Kepulangannya kembali ke negeri tercinta membuatku merindukannya, perasaan sedikit kehilangan terus menghantuiku. Padahal aku seharusnya melupakan dia, kini aku sudah berkeluarga, hidupku pun bisa dibilang lebih dari berkecukupan. Aku meninggalkan negeriku untuk merantau di negeri orang, di sini, Singapura, aku menemukan suamiku, John, yang begitu mencintaiku, padahal status aku sebelumnya tidaklah jelas. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sampai sekarang aku tidak tahu siapa ayah kandungnya. Pembaca mungkin bingung, namun sebelum bertemu dengan John, banyak kisah pilu yang aku alami. Kini aku sudah melupakannya dan memulai hidup baru dengan John, namun kedatangan Herman beberapa hari lalu kembali membuka lembaran lamaku.
Sebenarnya aku tidak begitu mencintai John, namun karena ia selalu perhatian denganku akhirnya aku menerima lamarannya. Ia juga menyayangi anakku, Olivia. Namun hingga hari ini aku tidak pernah tahu apa bisnisnya. Ia selalu pulang dengan pakaian rapi, mengenakan jas dan dasi, turun dari mobil kelas mahal dengan dibawa sopir pribadi. Ia juga enggan menceritakannya, namun tiap malam ia selalu terlihat stress, percintaan kami di atas ranjang selalu dengan perlakuan kasar. Ia mungkin memang seorang yang hyperseks, namun aku sebagai istrinya harus mengerti dan memenuhi apa kemauannya. Tiap malam perasaan tersiksa sebenarnya selalu aku alami, bagaimana tidak, John selalu berlaku kasar jika berhubungan seks, selain hardcore, ia juga menyukai gaya bondage. Aku kadang berpikir nasib ku yang begitu jelek, karena selalu diperlakukan kasar sejak dulu, sehingga tidak heran aku merindukan hubungan seks yang alami atau softcore.
'KRIIINNNGGGG...' tiba-tiba suara telepon rumah berbunyi, aku pun segera menuju arah telepon dan mengangkatnya. "Nes, prepare foods, coz my frens want come to home later...". "Oke...", jawabku. Tumben sekali John mengajak temannya datang ke rumah. Sudah beberapa tahun hidup dengannya, baru kali ini ia mengajak temannya makan di rumah. Aku pun segera beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makanan, agar nanti suamiku pulang, masakanku sudah siap dinikmati. Aku pun mengajak pembantu rumah tangga kami untuk membantu agar cepat menyelesaikan tugas yang dipesankan John.
Suasana sudah mulai sore, biasanya jam begini John sudah pulang. Sesuai prediksiku, tak lama menunggu John pun pulang, untungnya masakanku sudah siap, walau tidak begitu mewah, namun banyak pilihan menu yang aku siapkan. John masuk ke rumah langsung menuju ruang makan kami. Ia bersama dua orang temannya, mereka hitam sekali, sepertinya keturunan negro, namun pakaian mereka rapi seperti John, memakai jas hitam dengan dasi tersimpul rapi. Mereka terus berbicara entah bahasa apa sambil menuju ruang makan. Bukan bahasa inggris, bahasa ini cukup aneh, aku sendiri penasaran sekali. Aku hanya sedikit menguasai bahasa inggris, tak heran kadang John juga menggunakan bahasa melayu agar mempermudah komunikasi kami.
"She's my wife, her name's Agnes Monica...", tiba-tiba John berbicara dalam bahasa inggris untuk memperkenalkan aku ke teman-temannya. "Woo, so beauty...", kata seorang temannya sambil tersenyum menampakkan giginya yang terlihat putih dibalik wajahnya yang hitam. Hamid dan Karim nama mereka, seperti nama orang Timur, dugaanku mungkin mereka dari timur tengah atau arab, atau afganistan? Sosok mereka kurang lebih sama, postur tubuh mereka besar tinggi, namun kulit mereka hitam dan berkepala plontos.
Sebenarnya aku tidak begitu mencintai John, namun karena ia selalu perhatian denganku akhirnya aku menerima lamarannya. Ia juga menyayangi anakku, Olivia. Namun hingga hari ini aku tidak pernah tahu apa bisnisnya. Ia selalu pulang dengan pakaian rapi, mengenakan jas dan dasi, turun dari mobil kelas mahal dengan dibawa sopir pribadi. Ia juga enggan menceritakannya, namun tiap malam ia selalu terlihat stress, percintaan kami di atas ranjang selalu dengan perlakuan kasar. Ia mungkin memang seorang yang hyperseks, namun aku sebagai istrinya harus mengerti dan memenuhi apa kemauannya. Tiap malam perasaan tersiksa sebenarnya selalu aku alami, bagaimana tidak, John selalu berlaku kasar jika berhubungan seks, selain hardcore, ia juga menyukai gaya bondage. Aku kadang berpikir nasib ku yang begitu jelek, karena selalu diperlakukan kasar sejak dulu, sehingga tidak heran aku merindukan hubungan seks yang alami atau softcore.
'KRIIINNNGGGG...' tiba-tiba suara telepon rumah berbunyi, aku pun segera menuju arah telepon dan mengangkatnya. "Nes, prepare foods, coz my frens want come to home later...". "Oke...", jawabku. Tumben sekali John mengajak temannya datang ke rumah. Sudah beberapa tahun hidup dengannya, baru kali ini ia mengajak temannya makan di rumah. Aku pun segera beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makanan, agar nanti suamiku pulang, masakanku sudah siap dinikmati. Aku pun mengajak pembantu rumah tangga kami untuk membantu agar cepat menyelesaikan tugas yang dipesankan John.
Suasana sudah mulai sore, biasanya jam begini John sudah pulang. Sesuai prediksiku, tak lama menunggu John pun pulang, untungnya masakanku sudah siap, walau tidak begitu mewah, namun banyak pilihan menu yang aku siapkan. John masuk ke rumah langsung menuju ruang makan kami. Ia bersama dua orang temannya, mereka hitam sekali, sepertinya keturunan negro, namun pakaian mereka rapi seperti John, memakai jas hitam dengan dasi tersimpul rapi. Mereka terus berbicara entah bahasa apa sambil menuju ruang makan. Bukan bahasa inggris, bahasa ini cukup aneh, aku sendiri penasaran sekali. Aku hanya sedikit menguasai bahasa inggris, tak heran kadang John juga menggunakan bahasa melayu agar mempermudah komunikasi kami.
"She's my wife, her name's Agnes Monica...", tiba-tiba John berbicara dalam bahasa inggris untuk memperkenalkan aku ke teman-temannya. "Woo, so beauty...", kata seorang temannya sambil tersenyum menampakkan giginya yang terlihat putih dibalik wajahnya yang hitam. Hamid dan Karim nama mereka, seperti nama orang Timur, dugaanku mungkin mereka dari timur tengah atau arab, atau afganistan? Sosok mereka kurang lebih sama, postur tubuh mereka besar tinggi, namun kulit mereka hitam dan berkepala plontos.
Tidak menunggu lama, John langsung mengajak mereka makan bersama. Aku sedikit gugup makan satu meja bersama mereka, karena aku tidak tahu apakah mereka hanya sekedar teman, atau mitra kerja John. Sambil makan mereka masih terus berbicara, entah apa yang dibahas mereka, namun sedikit tidak nyaman bagiku, karena sebentar-bentar mereka melirik ke arahku. Firasatku malah menjadi tidak enak ketika mereka berdua tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuat mereka ketawa, apakah John menceritakan kisah lucu atau apa, aku kurang tahu. Nafsu makan ku pun mulai hilang, aku pun kemudian minta ijin kepada John untuk kembali ke kamarku. Namun John sedikit tersinggung, ia malah ngoceh terhadapku seolah-olah aku tidak menghargai teman-temannya. Setelah ku jelaskan dengan sedikit kebohongan bahwa aku kurang enak badan, akhirnya aku pun diperbolehkan meninggalkan ruangan makan.
Aku pun langsung menghempaskan tubuhku di atas kasur, sedikit capek juga karena menyiapkan makanan yang cukup banyak. Ranjangku dengan John yang menjadi saksi bisu akan percintaan kasar kami ini sunggub terasa empuk. Ku pandangi ke arah kanan, lemari pakaian John terbuka sedikit, aku pun bangkit untuk mencoba menutupnya. Pakaian John tergantung rapi dan harum, aku jarang sekali membuka lemarinya, karena John yang selalu mengurusnya, bahkan mencuci dan mensetrika pakaiannya dilakukan oleh pembantu rumah tangga kami. Ternyata pintu lemarinya tak tertutup rapat karena terganjal sesuatu, saat ku cek di bawah tumpukan bajunya ternyata ada sebuah buku tebal yang sedikit tertarik keluar menahan tertutupnya pintu.
Aku mengambil buku itu dan ku tutup kembali lemari pakaian John. Ku bawa ke dekat ranjang untuk membacanya sambil tiduran. Aku sangat penasaran dengan buku ini, karena tampak sangat seperti sebuah buku harian. Aku pun tiduran untuk membacanya, ternyata benar, ini adalah diary milik John. Aku ternyata kaget dengan apa yang tertulis di buku itu. Kisah hidupnya tertulis singkat sebelum ia mengenal aku hingga sekarang ini.
Aku terdiam membaca tulisannya, ia adalah seorang playboy sebelumnya, bahkan dia juga sering menyewa wanita bayaran untuk memenuhi nafsu birahinya. Hampir tiap malam dia selalu berburu wanita tuna susila yang mampu ia bayar berapa pun asalkan John senang. Aku sedikit penasaran dengab pekerjaannya, uangnya tidak habis-habis walaupun ia selalu main perempuan. John tidak menuliskan pekerjaannya di sini, sepertinya ia lebih tertarik menuliskan hubungan percintaannya.
Halaman demi halaman ku buka hingga cerita ketika ia bertemu denganku. Aku sedikit kecewa dengan tulisannya, John jatuh cinta pada pandangan pertama karena wajahku yang oriental tampak polos baginya. Dan ia juga bilang tidak sia-sia menikahiku karena aku selalu patuh padanya, serta melayani nafsunya setiap malam walau dengan gaya yang kasar. Ya, John selalu demikian, hubungan seks kami selalu dengan paksaan, aku juga mengerti kalau dia seorang yang maniac. John lebih menikmati percintaan kami dengan gaya seperti bondage, aku diikat baik di tangan, di kaki ataupun seluruh tubuhku, kadang aku di ikat di ranjang, di meja, di kursi, bahkan di ikat menggantung ke atas. Bukan hanya itu, John juga menampar pipi, payudara, dan pantat ku untuk meningkatkan kepuasannya. Jika sudah tidak tahan dengan rintihanku, ia pasti melakban mulutku dengan isolasi atau menyumpalnya dengan celana dalamku. Saking hypernya, ia membeli peralatan seks untuk membantunya, seperti penis mainan yang berbagai macam tipe dan ukuran.
Membaca tulisannya, aku mengetahui bahwa John juga sadar dengan penyakitnya ini, ia juga menuliskan bahwa ia sebenarnya kasihan dengan penderitaanku terhadap perlakuannya. Walaupun kasar begitu, ia sayang denganku. Halaman berikutnya juga menuliskan hubungan seks kami dengan berbagai cara yang tiap malamnya berubah.
Halaman selanjutnya ditulis sangat berantakan, tulisannya cukup kasar seperti orang yang sedang emosi, dan penuh coretan, di sana tertulis ia sedang tersandung masalah hukum. Kini aku mengetahui latar belakang pekerjaannya setelah sekian lama ia merahasiakannya dariku, ia ternyata seorang bandar judi dan bandar narkoba. Di sini disebutkan alamat tempat ia menjadikan markas telah digeledah polisi, semua barang haramnya disita. Ia harus bolak-balik ke kantor polisi untuk membuat laporan yang kian belum tuntas. Sudah puluhan miliar ia cairkan dana untuk menghindarkannya dari balik jeruji besi. Aku hampir menangis membaca penderitaan yang ia alami, kenapa harus John rahasiakan dariku.
John tidak mau aku mengetahui bisnis haramnya, ia tidak mau aku kecewa dan sedih. Bahkan uang simpanannya sudah habis untuk membebaskannya, kini hutangnya menumpuk, dan ia masih merahasiakannya dariku. Wajahnya yang tiap hari tersenyum ternyata merahasiakan masalah sebesar ini. Bahkan tanah, rumah dan kendaraan telah John gadaikan untuk membayar hutang-hutangnya. Aku langsung menangis membaca tulisannya ini. Tak sempat membaca halaman selanjutnya, aku pun bangkit karena mengingat anak perempuanku yang sedang tidur di kamar sebelah. Tidak ada yang aku khawatirkan selain dia, jika John memang jatuh bangkrut, setidaknya aku harus melakukan sesuatu agar Chelsea tidak menderita.
Bermaksud ke kamar sebelah untuk melihat Chelsea, tiba-tiba langkahku terhenti. Belum sempat membuka pintu, tiba-tiba gagang pintu bergerak, seseorang membukanya dari arah luar. "John...", kataku ketika melihat ternyata suamiku yang muncul di balik pintu. John pun masuk kemudian mendekatiku, "Are you oke?" tanya John sambil memegang dahi ku. Ia terlihat sungguh perhatian padaku, "I'm fine..." jawabku. Namun niat ku ingin melihat anakku Chelsea sedikit terganggu dengan munculnya John, gerak-geriknya membuatku penasaran. John mendekati arah lemari, ia mengeluarkan sebuah tas besar dari balik lemari dan segera memasukkan semua pakaiannya dalam tas itu. Sepertinya John ingin melarikan diri. Aku sangat takut dengan keadaan seperti ini, dengan wajah pucat aku pun bertanya, "What are you doing?..". Ia hanya sibuk mengemas kopernya tersebut dan lalu berkata, "I must go...". Sungguh keadaan yang sangat menyulitkan, ia masih menyembunyikan kebangkrutannya padaku, ia bilang ia dapat bisnis di luar negeri, dan ini mendadak sekali. Katanya ini adalah tawaran dari Hamid dan Karim, dua pria yang masih sedang asik ngobrol di ruang makan. Entah benar atau tidak, kata John ini adalah bisnis besar. Apa ini masih sebuah kebohongan untukku?
Selesai mengemas kopernya ia lalu merapikannya di atas ranjang. Oops, aku kaget karena buku diary John masih tertinggal di ranjang dan belum sempat aku kembalikan ke tempat asalnya. John langsung terdiam melihat buku diary yang ada di atas ranjang kami tersebut. Aku tidak berani buka mulut, aku bingung dengan keadaan ini, dan tidak tahu apa yang harus ku perbuat. John lalu tertunduk dan meneteskan air mata, "Hiks... Hiks... I'm sorry..." ia meminta maaf padaku. Aku iba sekali lalu mendekatinya untuk mencoba menghiburnya. John akhirnya menceritakan masalahnya, ia benar-benar bangkrut, bisnis haramnya itu telah hancur, kini ia harus memperbaiki kehidupan. Ada bisnis besar yang akan merubah nasib kami kata John. Dan kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, John harus segera berangkat ke luar negeri. Aku cuma diam dan menyemangatinya, John pun kembali tersenyum, dadanya kembali membusung tegak, ia berdiri dan mengecup keningku, "Bye honey... See you later...". Aku meneteskan air mata karena akan merindukannya beberapa saat, John belum tahu berapa lama bisnis itu akan selesai.
Aku tidak mengantarnya keluar, aku hanya merapikan kembali isi lemari yang tadinya berantakan karena John buru-buru mengambil bajunya. Buku diary miliknya pun aku kembalikan ke asalnya. Hmm, semoga John bisa kembali ke jalan yang benar. Padahal tadi aku sudah berpikir akan pergi dari sini, paling enggak ya kembali ke kampung halamanku. Tapi John bilang akan segera melunasi hutangnya dan memintaku untuk bersabar. Aku pun berdoa sejenak untuk keteguhan hati John agar dia bisa melewati beban ini dengan baik.
Ku lihat dari balik jendela, mobil John keluar dari halaman, mereka akan berangkat untuk mengerjakan bisnis mereka. Aku sedikit lega dengan masalah John, aku pun kembali ingin ke kamar sebelah menemui anak perempuanku, Chelsea Olivia, yang sedang tidur. Namun betapa kagetnya aku ketika muncul dua sosok dari balik pintu sebelum aku keluar kamar. "Hamid?... Karim?...", aku kaget karena dua orang ini menghalangi pintu keluarku. Kenapa mereka tidak ikut John berangkat ke airport? Belum sempat menanyakan mengapa, tiba-tiba mereka mendorongku masuk kembali ke kamar. Perasaanku tidak enak, mereka tersenyum gembira sambil berbicara entah bahasa apa.
Aku gelagapan melihat mereka berjalan mendekatiku. "Get out from my room!", teriakku marah. Namun mereka tersenyum sambil melepaskan jas mereka. Mereka lalu berbicara kepadaku dengan bahasa mereka, aku sungguh tidak mengerti, tapi kemudian si Hamid melanjutkan dengan sedikit bahasa inggris, "Your husband sell this house include you..." katanya sambil tersenyum dengan giginya yang putih. "Hahahaha...", si Karim tertawa lebar sambil mendekatiku. Badanku gemetaran takut merrka berbuat sesuatu yang menyakitiku, aku pun segera lari ke arah pintu keluar. Damn, Hamid berhasil menghadangku dan menarik tanganku, ia kembali mendorongku hingga jatuh terlentang di atas ranjang. Apa yang dilakukan John kepadaku? Apa dia tega menjualku? Aku lalu meneteskan air mata membayangkan nasib yang menimpaku ini. Sedangkan kedua pria bertubuh besar berkulit hitam itu telah melepaskan semua busana mereka. Tubuh mereka sangat kekar, badan mereka berotot, si Karim memiliki tatto di lengannya, bahkan yang membuatku pucat adalah penis mereka yang sangat besar, melebih ukuran milik John.
Kedua orang yang berbadan seperti bodyguard itu mendekatiku, mereka tertawa girang. Mereka berkomunikasi dengan bahasa mereka yang tidak ku mengerti. Hamid lalu menangkap tanganku, ia mencoba menciumi bibirku, tapi aku memberontak hingga ia kesal lalu menamparku. Pipiku dicengkramnya agar ia bisa leluasa menciumi bibirku. Sedangkan si Karim dari bawah menyibak rokku, ia berusaha memplorotkan celana dalamku. "No!...", aku berusaha berteriak dan menendang-nendangkan kakiku, tapi Hamid sudah menciumi bibirku hingga aku tidak bisa teriak, dan ia mencekik leherku agar aku tidak melawan. Akhirnya Karim berhasil menarik turun celana dalamku, ia pun langsung menjilati vaginaku. "Ouh...", geli sekali. Sungguh sangat menjijikkan, di mana mulutku penuh dengan air liur Hamid, dan vaginaku dijilat oleh Karim dengan sedikit sentuhan bibirnya yang agak brewokan.
Ciuman Hamid kemudian di arahkan ke leher ku. Rambutku dijambak agar aku tidak bergerak. Tubuhku pun ditindihnya agar tidak melawan. Sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Aku hanya bisa menutup mataku dan merasakan hal buruk ini terjadi, daerah kewanitaanku sudah tidak dijilati, namun aku merasakan jari Karim meraba-raba dan ingin menusuk ke dalam lubang vaginaku. Sesuatu yang keras perlahan memasuki liang vagina ku. "Argh...", aku tersentak karena benda keras itu menusuk dengan kasar hingga ke dalam vagina, jarinya terasa mengoyak dinding vaginaku. Bukan satu jari, sepertinya ia menggunakan lebih dari dua jari untuk mengobok-ngobok vaginaku, sungguh sangat menyakitkan.
Sedangkan Hamid sudah bosan menciumi bibir dan leherku, ia menarik bajuku hingga koyak, aku benar-benar ketakutan. Seperti binatang kelaparan, Hamid langsung menarik bra-ku hingga bra-ku lepas dan memperlihatkan payudara ku yang tidak begitu besar. Binatang liar itu tidak mau menunggu lama, ia langsung meremas payudaraku dengan kasar. Sakit sekali karena Hamid meremasnya dengan kuat, ke dua buah payudaraku dicengkram erat seperti mau diremas hingga pecah. "Please... Leave me...", Hamid bukannya iba, ia malah memilin puting susu ku dengan jarinya. "Argh...", puting susu ku dicubit dan ditarik Hamid.
Beberapa menit sudah berlalu, vaginaku terasa perih karena tusukan yang terus-menerus oleh jari Karim. Tiba-tiba gerakan jari itu tidak terasa, aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi karena Hamid masih menindihku dan menutupi pandanganku. Mungkin Karim capek dengan gerakan jarinya sehingga ia ingin istirahat.
Bosan meremas susuku, Hamid kemudian menciumi susuku, bahkan ia meyedot keras putingku dan sekali-kali menggigitnya. Tidak hanya itu, ia juga memberikan beberapa bekas cupangan di sekitar susuku. Putingku terasa sangat sakit karena digigit Hamid. Ingin rasa diriku bunuh diri saja daripada diperlakukan begini.
Hamid kemudian menyudahi kegiatannya, sepertinya ia sudah puas menikmati susuku. Ia kemudian berdiri, sehingga dengan jelas aku melihat Karim telah siap-siap ingin memasukkan penisnya yang besar panjang ke dalam vaginaku. Aku sangat ketakutan karena sebelumnya aku tidak pernah menjumpai penis sebesar itu. Aku berusaha bangun untuk menghindari semua ini, dengan cepat aku menendang Karim dan mendorong Hamid hingga terjatuh, segera aku berlari keluar kamar, aku tidak peduli dengan kondisi ku yang sudah telanjang bulat. Tapi langkahku terhenti, ternyata di luar kamar ramai dengan orang-orang berkulit hitam, sepertinya mereka adalah anak buah Karim dan Hamid. Mereka terlihat seperti preman, sedang asyik merokok sambil berjaga-jaga. Aku tak bisa lari lagi. Aku terdiam dan mereka hanya senyum-senyum sambil memainkan belati yang ada di tangan mereka. Hamid dan Karim pun keluar untuk menjemputku.
Aku hanya bisa menangis ketika mereka mendekatiku, Hamid kemudian maju dan menampar pipiku. Perih sekali rasanya pipiku, tak hanya itu, Hamid langsung menendang perutku hingga aku jatuh tersungkur. Kemudian Karim menjambak rambutku dan menariknya sehingga aku yang jatuh terlentang terpaksa segera berdiri dan mengikuti arah Karim, karena bila tidak, mungkin tidak hanya rambutku yang tertarik melainkan lepas bersama kulit kepalaku. Mereka memaksaku kembali ke kamar.
Aku teringat dengan Chelsea Olivia yang tidur di kamar sebelah, supaya mereka tidak ke kamar sebelah dan menyakiti anakku itu, aku terpaksa mengikuti kemauan mereka. Aku, Hamid dan Karim pun kemudian kembali ke kamar. Kami bertiga tidak berbusana sama sekali, penis mereka yang besar dan panjang bergelantungan seperti buah terong raksasa.
Mereka masih terus tersenyum senang karena mendapatkan mangsa lezat bagi mereka. Sebentar-bentar mereka menenggak liur dan memainkan lidah mereka seperta ingin melahapku. "Argh...", aku kesakitan ketika Hamid menjambak rambutku, ia bermaksud menyuruhku berjongkok dan mengulum penisnya. Cengkraman erat di kepalaku membuatku kesakitan dan aku terpaksa berjongkok untuk mengulum penisnya. 'Huek...', aku seperti mau muntah karena penisnya yang besar dan sedikit bau pesing. 'PLAKKK...', Hamid menampar pipiku agar aku tidak menolak permintaannya. Dari belakang Karim memegang pinggangku dan menariknya ke atas, aku sudah tahu maksudnya, ia pasti ingin menyodomiku. "No...!!!", teriakku sambil mencoba menggerakkan bokongku agar Karim tidak berhasil menusukkan penis jumbonya. 'Itu pasti sakit sekali', pikirku dalam hati. 'PLAKKK!!!' kini giliran Karim yang menampar pantatku, bergantian kiri dan kanan, perih sekali rasanya, kulit bokongku yang putih mulus pun sepertinya akan memerah.
Tidak depan mau pun belakang, aku terus ditampar agar melayani nafsu bejat mereka. Dan akhirnya penderitaanku pun dimulai, "ARGHHH....!!!", ujung anusku terasa sakit sekali, sebuah benda tumpul besar berusaha mengoyak liang anusku, sungguh menyakitkan apalagi dengan keadaan kulit kering begitu. Saat aku berteriak, mulutku pun disumpal penis Hamid yang bau pesing itu. Aku sungguh tidak tahan lagi, rasanya akan pingsan, badanku langsung lunglai, melihat demikian, Hamid berkata sesuatu ke Karim, dan Karimpun menarik kembali penisnya dari anusku. Mungkin Hamid melarangnya menyodomiku, ia langsung kembali menampar pipiku untuk memastikan aku terus terjaga.
Tak mau sampai aku kehilangan kesadaran, mereka kemudian kembali menggiringku ke ranjang, aku kembali dihempaskan ke atas tempat tidur. Karim yang sedari tadi tidak sabar langsung membuka selangkanganku, ia langsung menjebloskan penisnya ke vaginaku. 'Fuck!', pikirku dalam hati, karena Hamid pun tidak tinggal diam, ia naik ke atas tempat tidur dan melanjutkan kegiatan tadi, yaitu ingin aku menyepong rudal besarnya itu.
Tubuhku bergoncang kuat, vaginaku terus diobok-obok benda besar Karim, sedangkan mulutku tersumpal benda bau yang juga besar. Bukan hanya itu, sambil menikmati vagina dan mulutku, tangan mereka pun menjahili payudaraku. Susu ku diremas dengan kuat, puting susu ku pun dicubit, diplintir dan ditarik ke atas dengan kasar. "Oh yes... Oh no...", teriakan kegembiraan Karim yang semakin semangat memaju mundurkan pinggulnya. Vaginaku sudah terasa sakit sekali, perih banget, dinding-dinding vaginaku mungkin koyak karena lubang vaginaku tidak muat dengan penisnya yang besar.
Satu jam mungkin sudah berlalu, mereka masih sangat kuat, apa mereka menggunakan semacam obat kuat aku juga tidak tahu, yang jelas tubuhku sudah letih sekali. Karim sedari tadi terus memompa penisnya di dalam vaginaku dan belum sama sekali ia berejakulasi, mungkin karena sesekali ia memelankan gerakannya. Sedangkan Hamid sudah tidak mau aku sepong, sedikit lega untuk bernapas lebih segar, tidak menciumi penisnya yang bau itu. Hamid kini menyedoti ke dua payudara ku yang tidak begitu besar. Kulitku yang putih tampak semakin putih ketika dekat dengan dua orang berkulit hitam ini.
Karim kemudian menarik penisnya, ia sepertinya akan menyemprotkan spermanya, ia mengarahkan penisnya ke muka ku, lalu ia mengocok penisnya. Dan ternyata benar, spermanya banyak sekali menyemprot ke arah wajahku. Belum berhenti penderitaanku, Hamid segera menggantikan posisi Karim tanpa jeda. Sungguh malang sekali nasibku, tak di kampung sendiri bahkan di negeri orang, aku tetap diperlakukan seperti ini. Apa karena nasibku yang kurang bagus, diperlakukan kasar oleh teman bahkan suami sendiri, hingga John tega menjualku.
Karim kemudian meninggalkan kami, sepertinya dia sudah puas menyalurkan hasratnya. Dengan penuh air mata yang bercucuran, tubuhku masih berguncang kuat, Hamid sangat semangat memompaku. Hingga penglihatanku sedikit kabur, aku melihat bayang-bayang sekitar dipenuhi pria. Mungkin Karim memanggil teman-temannya yang tadinya sedang berjaga-jaga untuk masuk dan menikmatiku juga. Samar-samar aku lihat mereka sudah telanjang bulat semua, mungkin ada belasan orang, sama seperti Hamid dan Karim, kulit mereka gelap dengan penis yang sangat besar.
Setelah Hamid menarik penisnya dari vaginaku dan menyemprotkan spermanya di wajahku, para gerombolan itu pun mendekatiku, senyum bringas mereka benar-benar seperti merontokkan semangat hidupku. Aku akhirnya pingsan ketika seorang pria kembali memasukkan penis jumbonya ke vaginaku. Pandanganku gelap, tubuhku yang letih hanya terasa bergoyang sendiri. Banyak tangan yang menjamahi tubuhku, hingga aku benar-benar terlelap dan hilang kesadaran.
Saat aku terbangun, sekitarku sudah sepi, badanku sakit semua, tubuhku penuh dengan cairan sperma, hingga rambutku sudah acak-acakan. Vaginaku yang paling perih, entah sudah berapa belas batang penis jumbo yang sedari tadi mengoyak-ngoyaknya.
Aku segera bangkit dan menuju kamar mandi, segera ku bersihkan diriku, aku sudah tak sempat bersedih, ini kesempatanku kabur, yang kupikirkan adalah untuk keluar dari rumah ini. Cepat-cepat ku cari pakaian di lemariku, segera kupakai dan menuju ke kamar anakku, Chelsea Olivia, syukur dia masih baik-baik saja, tertidur dengab nyenyak. Aku segera membangunkannya dan mengajaknya keluar. Rumah sepertinya kosong, entah kemana gerombolan orang berkulit hitam itu. Saat keluar dari pintu rumah, aku segera menelpon temanku yang bekerja di agen penerbangan, aku menyuruhnya menyiapkan tiket untuk pulang ke kampung halamanku. Aku dan Chelsea berjalan menjauhi rumah laknat itu. Cara jalanku sudah berbeda, karena selangkanganku masih terasa sangat sakit. Chelsea sedikit keheranan melihatku, aku terus berbicara padanya agar ia tidak ketakutan. Sambil berjalan aku menunggu kabar temanku, dan ya, ada seat kosong, malam ini aku akan terbang kembali ke Indonesia, tempat kelahiranku. Aku pun meminta temanku memesankan taksi untuk menjemputku di tempat yang sudah cukuo jauh dari rumah. Ku sms Herman, 'Aku malam ini pulang, tolong jemput...', ia satu-satu nya teman yang bisa kembali aku berharap.
'Oke, sebelum check in, kabari saja' balas Herman yang kembali menyemangatiku. Hingga aku pun sampai di airport dan segera lepas landas menuju asalku. Semoga aku masih diberi kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. The End.
Mau Yang HOT HOT
CERITA HOT TERBARU ~ AKU SELINGKUH SAMA TEMAN SUAMI KU
CERITA HOT TERBARU ~ AKU SELINGKUH SAMA TEMAN SUAMI KU ~
Postingan terbaru untuk kamu - kamu semua yang doyan sama cerita perselingkuhan... oke langsung aja cekidot !!! ~

Namaku Surti, usiaku 16 th. Mungkin bagi kalian, usiaku masih belum cukup dewasa untuk menikah, tapi di kampungku, di pelosok kota Jogja, usiaku merupakan usia yang sudah pantas untuk membentuk keluarga. Kata ibuku, sebagai anak perempuan, aku harus segera mempunyai suami sehingga hidupku terjamin, sampai nantinya aku akan melahirkan seorang anak untuknya, meneruskan keturunan keluarga besar Susilo, tuan tanah di desaku.
Ibuku bilang aku adalah orang paling beruntung di desa karena dipersunting oleh orang kaya lagi terhormat. Di pikiranku terbayang sebuah pernikahan yang bahagia, suatu babak hidup yang baru, lembaran baru dan keluarga baru, keluarga besar Susilo. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku. Malam ini pula, aku menunggu suamiku membuka pintu kamarku yang sampai sekarang masih tertutup. Beberapa saat kemudian, bunyi pintu kamar yang terkuak menggugah lamunanku. Malam ini, malam pertamaku, malam pernikahanku, kulihat sosok lelaki merengkuhku, merenggut kesucianku yang memang kusediakan untuknya, suamiku.
Namaku Surti, ah bukan, Ny. Susilo. Kemanakah Surti? tiba-tiba aku harus menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku. Kata Ibuku, nama itu cocok kusandang. Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun dan aku belum melahirkan seorang anakpun bagi suamiku. Aku melihat ibu mertuaku sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran kemana ia suka, mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada, di ruang tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga. Bau busuk, hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu, kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia suka.
Kompleks pelacuran? Sejak kapan suamiku punya hobi pergi ke kompleks pelacuran? Setahun yang lalu? dua tahun lalu? Tiga tahun lalu? Empat tahun lalu? Lima tahun lalu? Atau sebelum itu? Anehnya, baik ibu mertuaku atau orang tuaku malah menyalahkan aku. Bagaimana dengan Ayah mertuaku ? lupakanlah, ia sudah mati jauh sebelum aku menikah dengan anaknya. Intinya, akulah yang tidak becus meladeni suami, sehingga suamiku lari ke pelukan pelacur itu. Apa lagi, aku mandul, itulah yang dibilang ibu mertuaku, bau busuk yang ia sebarkan hampir di setiap sudut desa ini. Percayalah, aku tidak mandul, tapi aku sungguh tidak tahu mengapa aku tak kunjung hamil juga. Anehnya, suamiku sama sekali tidak memusingkan hal ini, bukankah keturunan adalah hal yang paling penting dalam hidup manusia? Malam itu suamiku baru saja pulang, entah dari mana, aku pura-pura tidur ketika ia membuka pintu kamar.
“Kau sudah tidur?”
Suamiku menyapaku! Hatiku bahagia sekali, sampai tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Aku membalikkan tubuhku, kutatap matanya dalam-dalam.
“Belum mas” Jawabku. “Mas dari mana?”
Sungguh pertanyaan yang paling konyol yang pernah kuucapkan. Bukankah aku tahu ia baru kembali dari pelukan pelacur itu ?
“Belum mas” Jawabku. “Mas dari mana?”
Sungguh pertanyaan yang paling konyol yang pernah kuucapkan. Bukankah aku tahu ia baru kembali dari pelukan pelacur itu ?
“Kau tak perlu tahu, yang penting kau harus berpikir bagaimana bisa melahirkan seorang anak untukku!”
Jantungku berdesir, sakit sekali seperti ditusuk dengan ribuan paku, bukan, lebih dari ribuan paku. Aku membenamkan kepalaku dalam bantal, menangis tanpa suara, suara yang tak pernah kumiliki walau sekedar untuk mengeluarkan isi otakku. Aku tak pernah mempunyai suara. Selanjutnya, hari-hariku seperti neraka saja, seluruh penduduk desa bergunjing tentang aku, bahwa aku mandul, perempuan yang tidak sempurna. Aku juga melihat pelacur itu selalu ceria, senyumnya membuat hatiku semakin terluka, seperti disayat sembilu. Pelacur itulah, yang tidur dengan suamiku setiap malam, setiap malam sebelum suamiku menjamah tubuhku. Ia membayar pelacur itu tiap malamnya, sedangkan aku harus melayaninya seumur hidupku tanpa bayaran, kecuali makian yang kudapat dari ibunya dan suamiku sendiri. Inikah hidup baru yang dulu aku bayangkan? Yang kuimpikan dan kuidamkan? TIDAK dan tentu saja aku takkan tinggal diam, karena aku adalah Surti.
“Dasar pelacur!” Teriakku pada perempuan yang sekarang berdiri di depanku. Hari itu aku tak bisa menahan diri untuk menemui perempuan itu di kompleks pelacuran.
“Pelacur? Yah tentu saja aku pelacur dan asal kau tahu Ny. Susilo, aku bangga dengan profesiku.”
Mukaku memerah karena marah. Kuremas tanganku, ingin rasanya kutempeleng wajahnya.
“Kau telah merebut suamiku, kau memang perempuan murahan!”
“Merebut? Suamimu sendiri yang datang padaku dan melayaninya adalah tugasku. Kau salah alamat Ny. Susilo, kau harusnya mendamparat suamimu karena ia tidak setia, bukan kepadaku!”
“Plak!”
Aku menampar wajah perempuan itu, amarah tergambar jelas di wajahku. Namun aku sungguh tak menyangka ia membalas tamparanku, bahkan lebih keras dari tamparanku.
“Aku memang pelacur, tapi takkan kubiarkan satu orangpun melecehkan harga diriku”
Aku tertawa keras, berani sekali pelacur ini ngomong soal harga diri.
“Kau pikir kau lebih berharga dari aku, Nyonya? Katakan padaku apakah suamimu menghargaimu?”
Aku tediam, tiba-tiba saja aku tak punya lagi kata-kata. Aku sudah kalah dan aku pergi dari pelacur itu dengan kekalahan. Ya, kekalahan telak seorang istri tuan tanah yang terhormat. Air mataku mengalir deras, sesaat aku berpikir apakah gunanya aku hidup. Toh aku bukan istri sempurna. Malam itu aku menunggu suamiku pulang, kali ini aku tidak berpura-pura tidur, tak kupejamkan mataku walaupun sejenak. Akhirnya suamiku pulang, kuhirup bau bandannya, bau parfum pelacur itu.
“Kau baru dari pelacur itu?” Tanyaku dan aku sangat terkejut dengan keberanianku menanyakan hal itu padanya.
“Iya.”
“Iya.”
Hatiku luluh lantak mendengar jawaban yang jujur itu, aku berharap ia berbohong, sungguh aku ingin kebohongan yang manis walau beracun.
“Kau mengkhianati aku, mas.”
“Aku mencintai Widuri.”
Sungguh, aku berharap apa yang diucapkannya barusan adalah kebohongan tapi aku melihat kejujuran di mata itu.
“Aku menikahimu untuk melahirkan anak-anakku, tapi kau tak kunjung hamil juga.”
“Aku baru saja berpikir apa kau pantas menjadi ayah dari anakku kelak!”
Mata itu menatapku terkejut, akhirnya aku bersuara, akhirnya suaraku berguna juga.
“Kau mengkhianati aku, mas.”
“Aku mencintai Widuri.”
Sungguh, aku berharap apa yang diucapkannya barusan adalah kebohongan tapi aku melihat kejujuran di mata itu.
“Aku menikahimu untuk melahirkan anak-anakku, tapi kau tak kunjung hamil juga.”
“Aku baru saja berpikir apa kau pantas menjadi ayah dari anakku kelak!”
Mata itu menatapku terkejut, akhirnya aku bersuara, akhirnya suaraku berguna juga.
“Lancang!” Teriak suamiku sambil menempeleng aku, darah segar keluar dari sudut bibirku. Aku tidak menangis, tidak, aku bersumpah takkan ada lagi setetes air matapun untuknya. Suamiku beranjak pergi dari kamarku, malam itu ia tidak kembali.
Lelaki itu sedang duduk di ruang tamu dan menatapku penuh senyum, menyapaku penuh kerinduan. Andi adalah teman sepermainanku sejak kecil, terakhir aku bertemu dengannya adalah di hari pernikahanku.
“Gimana kabarmu Ti?”
“Baik, mas sendiri?” kataku balas bertanya
“Aku jadi buruh di Jakarta, hidup di Jakarta ternyata sulit Ti”
“Namanya juga kota besar mas”
“Aku kembali ke sini justru karena aku dipecat, situasi pabrik kacau, sebagian besar buruh dipecat dengan alasan kesulitan keuangan, kami para buruh menggalang aksi mogok sampai berhari-hari karena nasib kami nggak jelas. Eh, pemilik perusahaan malah minggat entah kemana.”
“Gimana kabarmu Ti?”
“Baik, mas sendiri?” kataku balas bertanya
“Aku jadi buruh di Jakarta, hidup di Jakarta ternyata sulit Ti”
“Namanya juga kota besar mas”
“Aku kembali ke sini justru karena aku dipecat, situasi pabrik kacau, sebagian besar buruh dipecat dengan alasan kesulitan keuangan, kami para buruh menggalang aksi mogok sampai berhari-hari karena nasib kami nggak jelas. Eh, pemilik perusahaan malah minggat entah kemana.”
Aku tertegun sesaat, jadi buruh ternyata tak lebih baik dari pada jadi petani.
“Kami, para buruh ditelantarkan begitu aja, pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap nasib kami.”
“Sudahlah mas, terima aja, mungkin emang nasibmu lagi apes. Nggak usah macem-macem mas entar nasib kamu kayak Marsinah gimana?” Kataku ngeri dengan kisah Marsinah yang mati karena dia terlalu vokal.
“Pokoknya aku nggak mau tahu Ti, kita emang miskin, tapi jangan diem aja kalo diperlakukan sewenang-wenang.”
“Kami, para buruh ditelantarkan begitu aja, pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap nasib kami.”
“Sudahlah mas, terima aja, mungkin emang nasibmu lagi apes. Nggak usah macem-macem mas entar nasib kamu kayak Marsinah gimana?” Kataku ngeri dengan kisah Marsinah yang mati karena dia terlalu vokal.
“Pokoknya aku nggak mau tahu Ti, kita emang miskin, tapi jangan diem aja kalo diperlakukan sewenang-wenang.”
Aku diam aja, Andi emang sulit diajak ngomong kalo udah pakai kata “pokoknya”, sulit diganggu gugat. Aku tak mau ambil pusing dengan masalahnya, yang jelas aku sudah memberi nasihat padanya. Andi berniat tinggal di desa selama beberapa bulan, kami memang cukup dekat, bahkan ia pernah mau melamarku, namun ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Apalah artinya seorang pemuda miskin bila dibandingkan dengan mas Joko yang seorang tuan tanah.
Aku tercenung sesaat ketika kutemukan selembar surat hasil pemeriksaan dari Dokter. Kupikir suamiku sakit tapi ternyata aku salah, suamiku sama sekali tidak sakit. Surat itu menyatakan bahwa suamiku mandul! Hatiku bahagia sekaligus marah, suamiku yang mandul bukan aku! Aku ingin berteriak pada semua orang bahwa aku tidak mandul bahwa suamikulah yang mandul. Aku ingin mengatakan pada ibu mertuaku yang nyinyir itu bahwa aku tidak mandul, bahwa anaknyalah yang mandul. Aku akan membuktikan pada semua orang bahwa aku tidak mandul. Aku tertawa, namun sesungguhnya aku menangis, yah aku menangis.
Suamiku menatapku heran, ia terpana dengan surat pemeriksaanku dari dokter yang menyatakan aku telah hamil dua bulan, wajahnya pucat pasi namun aku merasakan kemenangan dalam hatiku.
“Aku telah membuktikan bahwa aku tidak mandul” kataku. “Dan kau tak sanggup membuktikan bahwa kau cukup subur untuk membuatku hamil.”
Aku melihat dengan jelas wajah suamiku memerah, entah karena malu atau marah. Mungkin keduanya.
“Aku telah membuktikan bahwa aku tidak mandul” kataku. “Dan kau tak sanggup membuktikan bahwa kau cukup subur untuk membuatku hamil.”
Aku melihat dengan jelas wajah suamiku memerah, entah karena malu atau marah. Mungkin keduanya.
“Dengan siapa kau mengandung, anak siapa bayi yang kau kandung,” tanya suamiku dengan suara gemetar.
“Apakah itu penting? Bukankah keluargamu menginginkan keturunan? Dengarkan aku, Joko Susilo, kau akan merawat, mengasuh darah daging orang lain dan anak ini akan menjadi satu-satunya pewaris dari kekayaanmu.”
Inilah hari kemenanganku. Aku tak peduli lagi dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Widuri, pelacur iru. Aku tak peduli. Suamiku harus menutupi kenyataan dari semua orang, termasuk ibunya bahwa dia mandul dan ia terpaksa menerima darah daging orang lain sebagai pewarisnya.
“Apakah itu penting? Bukankah keluargamu menginginkan keturunan? Dengarkan aku, Joko Susilo, kau akan merawat, mengasuh darah daging orang lain dan anak ini akan menjadi satu-satunya pewaris dari kekayaanmu.”
Inilah hari kemenanganku. Aku tak peduli lagi dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Widuri, pelacur iru. Aku tak peduli. Suamiku harus menutupi kenyataan dari semua orang, termasuk ibunya bahwa dia mandul dan ia terpaksa menerima darah daging orang lain sebagai pewarisnya.
Inilah pernikahanku. Sebuah pernikahan yang pernah aku idamkan sebagai pernikahan yang penuh kebahagiaan namun ternyata penuh kemunafikan. Aku telah mengandung dan semua gunjingan pun berakhir.
Ibu mertuaku begitu bahagia, tanpa ia tahu bahwa bayi yang kukandung bukanlah darah dagingnya. Semua keluarga begitu bahagia kecuali suamiku. Namaku Surti, sebagai seorang perempuan aku harus menjaga kesucianku, sebagai seorang istri aku harus mengabdi, menjaga kesetiaanku pada suamiku dan sebagai seorang ibu aku harus mengasuh anakku siang dan malam. Yah, itulah aku dan untuk semua itu hanya ada satu alasan, karena aku adalah seorang perempuan. Namaku Surti, dan saat ini aku berada di stasiun Lempuyangan, begitu banyak orang lalu lalang, melepas kepergian salah satu keluarga mereka, mungkin suami mereka. Dan aku berdiri di sini melepas kepergian kekasihku, Andi. TAMAT
Mau Yang HOT HOT
CERITA DEWASA ~ SURPRISE FROM POLWAN
CERITA DEWASA ~ SURPRISE FROM POLWAN
Herman belum pulang dari liburannya di Singapura, sehingga terpaksa aku dan Tono yang menjaga usaha pijat plus-plusnya ini. Teman yang lain sedang sibuk dengan kegiatan mereka, hanya aku dan Tono yang menjadi orang kepercayaan Herman. Oya, namaku Satorman, aku sudah sering menceritakan kisahku dan kisah teman-temanku. Kali ini, aku, Tono, dan empat gadis teman kami yang standby di tempat ini, tempat pijit plus-plus yang masih sepi hingga hari ini. Hanya penambahan anggota baru dua hari yang lalu. Namanya Fenny, gadis keturunan yang cantik, melebihi tiga teman gadis kami yang pribumi. Entah dasar apa yang menyebabkannya mau bekerja di sini, yang jelas aku menduga adalah himpitan ekonomi. Tapi lambat laun aku juga bisa mengorek informasi mengenai alasannya. Fenny, Ayu, Lisa dan Widya menunggu di bawah, siapa tahu ada konsumen yang masuk. Sedangkan aku dan Tono sedang asyik main playstation tiga yang baru saja kubeli dan ku simpan di kamarku. Sejak ikut Herman, aku tidak terlilit hutang lagi, bahkan aku tidak sulit mendapatkan uang, karena Herman selalu memberikan uang kepada kami, walaupun usaha sepi, dia tetap membayar gaji kami. Jam sudah menunjukkan pukul 22:00, tiba-tiba aku mendengar dering telepon, "Iya, ada apa?" tanyaku ketika mengangkat telepon di meja yang tersambung dengan telepon lantai bawah. "Ada masalah, turun bentarlah, ada polisi nih..." kata Ayu yang menelepon dari lantai bawah. Aku pun kaget mendengar ada polisi yang datang, apa ini razia? Aku segera ajak Tono untuk menuju ke bawah. "Gawat nich, semua suratkan ada sama Herman..." kata Tono. Asli lebih terkejut lagi ketika kami sampai di bawah dengan apa yang kami lihat? Ada tiga polwan muda dan cantik sedang berbicara dengan Ayu dan yang lainnya. "Selamat malam pak!" sapa salah satu polwan ketika melihat kami. Wajahnya cantik sekali, rambutnya pendek dan postor tubuhnya seperti model, kulihat diseragamnya tertera namanya Felicia. Sedangkan dua polwan lainnya sedang berbicara sambil melirik-lirik kondisi tempat usaha kami. Mereka sepertinya baru, karena kulihat umur mereka mungkin baru menginjak 20 atau lewat sedikit. "Iya, selamat malam, ada yang bisa kami bantu?" jawab Tono dengan sopan. "Maaf, ini kunjungan mendadak, kami mau lihat surat-surat pendirian usaha ini" kata polwan tersebut. Tono langsung terlihat pucat, seperti yang kami khawatirkan, usaha gelap ini sangat riskan. "Hmm, bos kita lagi tidak ada di tempat bu, surat menyuratnya ada sama beliau, kalau ibu mau, nanti kalau beliau sudah pulang, kita laporkan lagi?" kata Tono. "Kami mau lihat sekarang juga, masa buka usaha tanpa ijin?" sindir polwan lainnya yang tadinya sedang berbicara dengan Ayu, muka polwan tersebut terlihat judes sekali. "Oh, tunggu..." kata Tono. Lalu Tono mendekatiku dan berbisik padaku, "Mereka kayaknya minta jatah... Ambilin tiga juta lah buat mereka..." Mungkin juga mereka minta uang pelicin, jadi aku naik ke atas kembali ke kamar ku untuk mengambil sejumlah uang. Samapi kembali di bawah, aku langsung menyodorkannya ke Felicia, polwan yang tadinya berbicara dengab kami. "Loh, apa ini maksudnya?" tanya polwan itu. "Kalian bermaksud menyogok kami?" tanya nya lagi. Kami semua terdiam melihat ketiga polwan itu sedikit marah. "Ayo ikut kami ke kantor polisi!" perintah Felicia. "Tapi?..." jawab Tono. "Berikan waktu agar kami bisa menelpon bos kami dulu..." pinta Tono. "Kau dan kau ikut!" perintah polwan itu sambil menunjuk kami berdua. "Tutup saja yu, nanti Ayu coba telpon bos Herman..." pesan Tono ke Ayu, dan kami pun digiring keluar. Kami disuruh naik ke mobil polisi yang dengan bak terbuka. Sial sekali, kami diperlakukan seperti penjahat, kami disuruh duduk di belakang dan dijaga dua polwan, sedangkan Felicia yang mengendarai mobil. Untungnya sudah agak malam sehingga jalanan sedikit sepi, dan kami pun melewati jalan yang dikelilingi hutan, karena kantor polisi terletak agak jauh. Aku lihat raut wajah Tono sangat kesal, aku paham, kami malu sekali diperlakukan begini, andai Herman ada di tempat, tentunya dia tak akan membiarkan kami begini. Sesampai di kantor polisi, kami pun disuruh turun dan menemui atasan mereka. Seorang pria gemuk besar dengan kumis tebal duduk santai di sebuah ruangan, sepertinya dia lah atasan di sini. Saat masuk, pria yang merupakan kapolsek daerah sini hanya tersenyum-senyum mendengar penjelasan polwan-polwan tersebut. Tak lama dari itu aku melihat pria berkumis tebal itu ditelpon seseorang, dan saat dia menutup telponnya, dia pun menyuruh kami pulang. Kini giliran polwan itu yang protes, "Tapi pak?..." sepertinya polwan tersebut tidak terima dengan keputusan polisi pria itu. "Antar mereka pulang, perlakukan mereka dengab baik..." itu saja yang dikatakan polisi pria tersebut tanpa mau berbicara panjang lagi. Aku dan Tono baru merasa lega, kami pun kembali naik ke mobil itu layaknya penjahat, kami kembali harus dibawa di belakang. Sebelum naik, sepertinya Tono mendapatkan sms dari seseorang, setelah membacanya dia pun menunjukkannya padaku. Itu adalah sms dari Ayu yang berisi: 'Gw uda telp bos, nti tmn2 lain ada kejutan'. Sms yang sangat singkat, aku pun tidak tahu apa maksudnya. Mobilpun mulai bergerak ketika kami naik. Masih tiga polwan tersebut yang menemani kami. Entah sial apa, pas sampai di tengah hutan yang harus kami lalui, tiba-tiba ban mobil bocor. "Waduh, mana gelap lagi nih... Tak bawa ban serap..." kata Felicia yang keluar dari mobilnya. Kami pun turun dari bak mobil, "Sial, siapa yang nebar paku begitu banyak?" kata Felicia setelah mengecek ban mobilnya. Sepertinya ada yang menaruh ranjau paku di sepanjang jalan ini. Apa ini kejutan yang dimaksud Ayu? Soalnya siapa yang iseng menebar ranjau paku di sini? Tidak ada bengkel dekat sini, paling-paling perampok saja yang melakukan hal seperti ini di tempat sepi tengah hutan begini. "Tunggu di sini, kita cari tumpangan", kata Felicia memandang ke ujung jalan yang gelap. Hanya terang bulan dan cahaya lampu dari mobil yang menyinari sekitar. Dan dari ujung jalan terlihat ada sinar, ada mobil yang menuju ke sini, Felicia pun maju berdiri di tengah jalan untuk menghadang mobil itu. "Wah, mogok ya?" tanya seseorang yang menggunakan topeng dalam mobil tersebut ketika dihentikan Felicia. Tak sempat bertindak, tiba-tiba dengan secepat kilat, beberapa orang bertopeng turun dari mobil itu dan menyergap tiga polwan tersebut. Mungkin ada sekitar tujuh pria bertopeng yang langsung melumpuhkan tiga polwan tersebut. Para polwan itu tak bisa melawan karena kalah jumlah. "Ayo ikut!" pria bertopeng itu langsung menyeret tiga polwan tersebut masuk ke dalam hutan. Aku dan Tono tidak bisa berbuat apa-apa, kejadiannya sungguh cepat, kami tak mungkin melawan, karena mereka membawa senjata tajam. Kami semua digiring masuk hutan, apa selanjutnya yang akan terjadi? Aku takut kawanan penjahat ini akan membunuh kami semua. Sampailah kami di tanah yang sedikit lapang, ku hitung jumlah mereka... satu... dua... tiga... semua ada tujuh orang. Pria misterius bercadar itu sepertinya sangat brutal, mereka mengacungkan senjata mereka di hadapan kami. Aku, Tono, dan tiga polwan itu tak bisa berkutik, kami disuruh berlutut dengan tangan di kepala. Salah satu pria tersebut kemudian mendekati kami, kemudian menarik satu polwan ke depan. Empat pria lain menjaga kami agar tidak berontak, sedangkan tiga lainnya seperti akan melakukan terhadap polwan itu. "Cantik juga ya polwan ini..." ejek pria tadi yang menariknya, kemudian berdiri di depannya dan mengangkat dagu polwan tersebut. "Hmm, Eka..." pria itu membaca nama yang tertera di seragam polwan tersebut. Dari barisan kami tampak Felicia berusaha melawan, tapi ia ditendang dari belakang oleh pria yang mengawasi kami, hingga ia tersungkur dan kesakitan. Sedangkan di depan kami, hanya bisa melihat aksi pria bercadar mengerjai polwan yang disebut bernama Eka tersebut. Aku lihat dengan jelas, walaupun penerangan hanya menggunakan senter dan mengharapkan sinar rembulan, pria bercadar yang menarik Eka tersebut memeluk Eka dan melumat bibirnya. Sedangkan dua lainnya hanya tertawa terbahak-bahak, dan empat lainnya masih mengawasai kami dari jarak yang sangat dekat. Felicia masih kesakitan akibat tendangan tadi, tapi dia sudah kembali ke posisi awal, berlutut dengan tangan di atas kepala. Aku juga tidak ada niat untuk menolong para polwan tersebut, karena aku juga sudah terlanjur kesal dengan perlakuan mereka. Bahkan aku berharap para pria tak dikenal itu melakukan aksi yang lebih lanjut. Ternyata yang ku mau menjadi nyata, pria bercadar yang tadi melumat bibir polwan yang bernama Eka itu mendorong tubuh Eka hingga jatuh. "Beraninya menolak ciumanku?!" pria tersebut terlihat marah sekali. Eka lalu ditendang bagian perut hingga termuntah-muntah, kami hanya bisa diam, Felicia sepertinya agak geram melihat adegan ini. Polwan bernama Felicia kemudian kembali bangkit dan menantang mereka, "Kalau berani, ayo satu lawan satu!" ajak Felicia. "Hahaha, yang benar saja? Satu lawan satu?" para pria tersebut tertawa terbahak-bahak. "Apa kalian menangkap kami, para penjahat, juga ada pakai peraturan satu lawan satu? Kalian juga gerombolan, bahkan membawa senjata api..." kata pria bercadar yang tadi menendang Eka. Mereka juga sepertinya memiliki dendam yang besar terhadap polwan ini. "Akh!...." teriakan Felicia yang ditendang dari belakang hingga terseret ke arah Eka. "Bagusnya dibunuh atau bagaimana?" tanya pria tadi pada kawan-kawannya. "Jangan dulu, sayang sekali kalau tidak dicicipi..." jawab temannya yang lain. "Hmm... Betul juga, kecantikan mereka seharusnya berguna..." Para pria yang menjaga kami mendekat ke arah kami dan menodongkan senjata mereka ke leher kami. Aku, Tono dan satu polwan lagi yang tidak tahu bakal diapakan oleh mereka. Kemudian pria yang menendang Eka mendekati Eka dan Felicia, "Turuti permintaan kami, atau mereka MATI!!!" ancam pria tersebut. Nampak Felicia hanya bisa melotot kesal ke arah pria tersebut. Pria tersebut kemudian membuka resleting celana jeans nya, dan penis besar yang sudah mengeras pun tersembul keluar. "Ayo, kulum!" perintah pria itu. Karena Felicia mengkhawatirkan keselamatan kami, ia pun terpaksa mengulum penis pria itu. Pria itu menjambak rambutnya agar Felicia lebih agresif, karena tadinya Felicia sedikit takut untuk menyentuhkan bibirnya ke penis pria tersebut. Sama halnya dengan Eka, dia juga dipaksa untuk mengulum penis pria bercadar lainnya. Felicia dan Eka tidak bisa melawan, karena nyawa kami kini tergantung dengan mereka. Melihat dua polwan tersebut memberikan pelayanan begitu kepada dua pria bercadar itu, membuat penisku mengeras. Nafsu ku naik hingga tak tertahan, ingin sekali aku mengocok penisku sambil melihat adegan ini. Sungguh malang nasib mereka, rambut mereka yang hanya sebatas bahu dijambak untuk mengatur irama. Sedangkan polwan satunya yang berlutut di dekat kami terlihat menangis, dia tak sanggup melihat yang sedang terjadi. Hmm, cantik juga, yang satu ini nganggur, andai saja dia men-service ku, hahaha, harapku dalam hati. Ku pandangi seragamnya yang ketat, susunya terlihat agak besar, dan namanya Olivia tertera di seragam, terlihat jelas akibat lekukan dadanya yang membusung ke depan. Ku pandangi teman sebelahku ini, Tono, ia terlihat menikmati adegan tersebut, ia menonton tanpa mengedipkan mata, bahkan sesekali ia seperti menelan ludah. Dua pria tersebut terus menggenjot mulut dua polwan itu, dua lainnya di dekat menunggu giliran, sedangkan tiga lainnya sedang mengawasi kami. Setengah jam ada penis mereka dikocok dengan mulut polwan itu dan akhirnya mereka menyemburkan sperma juga. "Ayo ditelan!" perintah salah satu pria yang dikulum penisnya itu. Awalnya Felicia mencobq memuntahkannya, namun pria yang dikulum penisnya itu menampar pipi Felicia dengan kuat 'Plak!' "Mau lihat temanmu mati?" ancam pria tersebut. Sehingg Eka dan Felicia sangat dengan terpaksa menelan semua sperma yang disemprotkan ke dalam mulut mereka. Setelah itu selesai, dua pria itu pun berpindah, mereka memberikan tempat untuk dua pria lain yang sudah dari tadi menunggu giliran. Dua pria itu berdiri di depan Eka dan Felicia. "Kami belum mau dikulum, tapi mau mengenyot..." kata salah satu pria tersebut. Felicia dan Eka sangat kaget mendengar permintaan pria tersebut. Mendengar itu, Olivia yang berlutut dekat kami pun bersuara, "Jangan... Tolong lepaskan mereka..." Tapi bukan mendengar permohonan Olivia, salah satu pria yang mengawasi kami pun langsung menjambak rambut Olivia, "Lu mau ikutan mereka?!" kata pria tersebut. Olivia pun menangis dengan kencang. "Jangan... Biar saya saja..." kata Felicia yang dengan perlahan membuka kancing bajunya. "Loh, polwan yang satu ini mau lihat temannya mati?" tanya satu pria melihat ke arah Eka yang sedari tadi hanya terdiam saja. Takut dengan ancaman pria tersebut, Eka pun mengikuti apa yang dilakukan Felicia. Kedua polwan tersebut pun membuka seragam mereka, ku lihat bra warna putih mereka menutupi buah dada mereka yang bulat sempurna, tidak besar juga tidak kecil. "Ah, lama!" pria satu terlihat komplain, sehingga Felicia dan Eka pun terpaksa mempercepat membuka bra mereka. Penisku sedari tadi sudah ngaceng bukan main, apalagi melihat susu yang mengacung ke depan, bulat sempurna, baru kali ini aku melihat tubuh indah polwan. Dua pria yang tadi di depan Felicia dan Eka langsung dengan bringas melumat buah dada yang indah itu. Mereka seperti kesetanan, mengenyot buah dada itu, memeras, menampar, menggigit dan memainkannya. Puting yang kecil dan merah mudah dua polwan tersebut dipilin-pilin dengan jari, bahkan sesekali ditarik-tarik. Felicia dan Eka sepertinya menangis, mata mereka terlihat berbinar, mereka pasti malu diperlakukan seperti itu. Olivia tak mampu melihatnya, dari tadi dia hanya memalingkan wajahnya, sedang Tono sedari tadi tidak mau melewatkan adegan ini. Aku sebenarnya iri sekali tidak bisa menikmati tubuh polwan tersebut. Setelah bosan menikmati payudara segar milik polwan, kedua pria itu meminta dua polwan itu mengulum penis mereka. Sedangkan dua pria yang tadi dikulum penisnya mendekati kami, "Tunggu di sana saja biar dapat giliran..." mereka meminta tiga pria yang mengawasi kami mendekat ke Felicia dan Eka untuk antri menunggu giliran. "Ga sabar ne bos, pengen disepong polwan juga ne..." kata salah satu pria yang menuju ke arah Felicia dan Eka, ia terlihat senyum kegirangan. Felicia dan Eka kembali sibuk dengan mengulangi tugasnya tadi, mereka harus mengulum penis kedua pria bercadar itu. Tiga lainnya sudah tak sabar menunggu giliran, antrian belum sampai saja tiga-tiganya sudah membuka resleting celana jeans mereka dan mengeluarkan penis mereka yang sudah ngaceng. Seperti halnya tadi, Felicia dan Eka kembali disuruh untuk menelan habis sperma yang telah mereka semprotkan ke dalam mulut Felicia dan Eka. Tiga pria yang tadi antri terlihat berebutan, karena cuma dua polwan saja yang sedang bertugas, terpaksa satu pria harus mengalah. Dua pria kembali meminta Felicia dan Eka mengulum penis mereka. Satu pria yang tadi mengalah hanya bisa memainkan penisnya sendiri, "Ga apa-apa, nanti saya minta diservice dua polwan sekaligus deh..." katanya yang terlihat malu karena kalah dari perebutan. Kembali lagi Felicia dan Eka harus menelan habis sperma dua pria selanjutnya tadi. Mereka terlihat mau muntah, masing-masing telah menelan sperma dari tiga orang pria. Akhirnya pria yang tadi kalah dari perebutan pun maju, ia nampak sangat senang, walaupun giliran terakhir, namun ia lebih spesial karena bisa dilayani dua polwan sekaligus. "Kalian pasti sudah eneg ya minum sperma?" ejek pria tersebut. "Kalau kalian tidak mau minum sperma lagi... Menarilah untukku..." minta pria tersebut. Dua polwan itu tidak mungkin menolak, apapun yang diperintahkan para pria tak dikenal ini haruslah dituruti. Dua polwan tersebutpun terpaksa menari, tanpa pakaian penutup atas, sehingga buah dada mereka yang bulat terlihat jelas. "Celana nya di lepas dong, gue mau lihat memek kalian..." kata pria tersebut. Kedua polwan itu belum menurutinya, mereka masih menari dengan mengenakan celana abu-abu gelap mereka yang sedikit ketat. Merasa tak didengar, pria tersebut melepas ikat pinggangnya, 'Plak' 'Plak' dibesutnya ikat pinggang terssebut ke arah mereka. Dengan mata berlinang air mata, mereka pelan-pelan menurunkan celana mereka. Waw, tak sabar aku pun ingin sekali melihat kemaluan milik polwan. Tono pun masih tidak berkedip dengan apa yang ia tonton, sifat hypersexnya memang sudah lama di-idapnya. Setelah melorotkan celana mereka, celana dalam berwarna pink mereka pun pelan-pelan ditarik turun. "Sungguh indah..." kata pria tersebut melihat kemaluan dua polwan yang segar itu. Vagina mereka tanpa bulu, mungkin selalu dicukur mereka agar terlihat lebih bersih. "Sini, hisap kontolku!" perintah pria itu. Dua polwan yang sudah telanjang bulat itu pun maju dan berlutut di depan pria itu. "Ga usah rebutan, sini gue mau netek juga..." kata pria tersebut. Felicia kemudian bangkit dan menyodorkan buah dadanya kepada pria itu, sedangkan Eka bertugas mengulum penis pria tersebut. Payudara Felicia terus dikenyot dengan kasar, hampir setengah jam pria itu dilayani dua gadis, ia pun merasa bosan, "aku mau ngentot..." katanya. Mendengar kata itu, dua polwan tersebut kaget. Mereka sepertinya tidak terima dan mengambil sebuah tindakan. Pria tadi ditangkap Felicia dan Eka, "Lepaskan kami, atau pria ini mati!" ancam Felicia yang tadi dengan cekatan menangkap pria di depannya. Suasana menjadi hening seketika. Namun suara tertawa pun memecahkan keheningan, "Hahaha, kalian pegang satu nyawa, sedangkan kami pegang tiga nyawa..." kata salah satu pria yang mengawasi kami. "Mau mereka mati?" tanya pria tersebut. Aku sedikit iba melihat semua ini, aku pun coba untuk menengahi, "Biar saya jadi sandera saja, tapi lepaskan mereka..." pintaku. "Wah, mau jadi pahlawan di malam buta begini?" kata pria tadi yang kemudian mendekatiku. Ia terlihat marah sekali, dan langsung mendekatkan belatinya di leherku. "Buka celanamu!" teriak pria itu. Spontan saja aku kaget dan ingin melawan, tapi tubuhku didorong hingga tersungkur. "Biar saja semuanya mati..." kata pria itu. Terpaksa aku pun membuka celanaku hingga celana dalamku. "Dengar, kalau kalian tidak mau mendengar perintah kami, maka peler orang ini akan saya potong!" ancamnya sambil mengarahkan belatinya ke penisku yang sudah mengeras sedari tadi. Jantungku berdetak dengan kencang, hampir pingsan aku dibuatnya ketika mendengar penisku akan dipotong. Dua polwan yang melawan tadi pun terdiam, pria-pria lain mendekati mereka dan memukuli mereka. Dua polwan tersebut ditampar dan ditendang oleh beberapa pria. Sedangkan pria tadi yang sempat ditangkap oleh dua polwan itu terlihat sangat marah. "Aku tak akan mengasihani kalian lagi!" katanya. Kemudian ia bangkit dan menuju ke arah kami, ia mendekati polwan yang berlutut bersama kami. Polwan yang bernama Olivia tersebut kemudian dijambak rambutnya dan ditarik kemudian dilemparkan ke arahku, hingga wajah sang polwan tersebut tepat mengenai penisku. "Hisap!" perintah pria tersebut. Waw, kejutan yang indah kataku dalam hati. Aku diposisikan keadaan yang sangat sulit, satu sisi aku sudah sangat nafsu, di sisi lain aku kasihan melihat kemalangan yang menimpa para polwan tersebut. Aku coba menghalangi, "Jangan..." kataku. Lalu pria tadi yang mengancam akan memotong penisku kembali mengancam lagi, "Peler lu mau gue potong ya?!" Aku pun hanya yerdiam ketakutan. Olivia kemudian dengan berderai air mata mencoba mengulum penisku. Tono terlihat tak terima, ia berteriak "Hentikan semua ini!" Aku yakin Tono berpura-pura melawan karena ia iri dengan apa yang ku alami. Besar dugaanku adalah bahwa Toni juga ingin diperlakukan seperti ini. "Dasar kerempeng!" pria lain mendorong Tono hingga jatuh. Pria itu mendekatkan belati ke arah Tono, "Lu mau coba jadi pahlawan juga??" tanya pria itu. Tono pun kemudian terdiam. Di arah lain, ku lihat Eka dan Felicia sudah dikerumuni lima pria bercadar, mereka bergantian menggauli dua polwan itu. Dua pria lain masih mengawasi aku, Tono dan Olivia. Dari tadi penisku dikulum oleh Olivia, badannya terlihat gemetar sekali, kulumannya pun tidak begitu erat, ia mungkin belum pernah melakukan ini. "Hey lu! Bantu polwan itu buka seragam!" perintah pria yang mengawasi kami kepada Tono agar Tono membuka seragam Olivia. Tono tetap terdiam tak mau bergerak, ja'im banget, padahal dia sangat terobsesi dengan adegan seperti ini. "Oi, mau mati lu?!" ancam pria itu menunjukkan belatinya. Tono pun kemudian menuju arah kami. Olivia menghentikan kulumannya karena sudah ketakutan akan dibugili. Melihat begitu, dua pria yang mengawasi kami terlihat marah, "Dasar tak berguna!" Mereka berdua kemudian menangkap Olivia, tangan dan kaminya ditangkap mereka, "Hei kalian, cepat buka dan kenyot susunya!" perintah dua pria itu kepada aku dan Tono. Dengan perasaan serba tidak enak, aku dan Tono pun membuka seragamnya Olivia, kancing bajunya satu persatu kulepas, sedangkan Tono melepas celana panjang berwarna abu-abu gelap polwan itu. Bra putih sudah terlihat, aku sudah tak sabar ingin melihat payudara polwan ini, bagian bawah kulihat Tono juga sudah berhasil melepas celana Olivia hingga terlihat celana dalam berwarna merah muda yang penuh dengan gambar bunga. "Cepat! Atau polwan ini kami bunuh!" ancam dua pria itu. Aku langsung gelagapan karena kaget mendengar suara dengan nada keras pria tersebut. Bra Olivia ku angkat ke atas hingga terlihat bukit kembarnya yang semakin merangsang saya. Kini tubuh Olivia sudah bugil tanpa balutan sehelai benang pun. Dia berusaha berontak untuk melawan. Aku tersejenak karena sedikit tidak tega melihat Olivia yang tak berkutik dipegangi dua pria bercadar. Berbeda dengan Tono, kulihat dia sudah menciumi selangkangan Olivia, sekitar vaginanya sangat bersih tanpa bulu. Tapi bagaimana aku bisa mengenyot susunya, toh dua pria bercadar yang memegangi Olivia berebutan menjamah dan memeras susu Olivia yang bulat indah itu. Satu pria bercadar itu menjambak rambut Olivia dan menyuruh aku mendekatkan penisku ke arah Olivia. "Kalau lu uda nyaman, lu ga bakal belain mereka, liat kawan lu tuh!..." kata pria itu. Olivia pun kemudian mengulum penisku, sungguh sedap sekali. Olivia sudah tak berkutik, susunya kemudian dikenyot dua pria bercadar, sedangkan vaginanya terus dijilati oleh Tono. Penisku terus dikulum Olivia yang memerah mukanya, ia hanya menutup matanya walaupun terus menangis. Sedangkan dua temannya, Felicia dan Eka, sibuk melayani lima pria bercadar lainnya yang memperkosa mereka secara bergiliran. Dari arah sana kudengar suara memohon ampun, Eka dan Felicia mungkin tak sanggup melayani lima orang pria yang kesetanan itu. Setelah selesai menyetubuhi Eka dan Felicia, lima pria itu tidak terlihat lelah sama sekali, malah mendekat ke arah kami dan minta jatah Olivia. Aku dan Tono pun disuruh minggir, karena takut disakiti, aku dan Tono pun menyingkir. "Tuh, dua mainan sono, nikmati saja sebelum kalian kami bunuh!" kata salah seorang pria yang mendekati kami, dia memerintahkan kami menyetubuhi Felicia dan Eka. Kupandangi ke arah sana, Eka dan Felicia sudah tidak bergerak, mereka sudah pingsan, dengan kaki yang masih mengangkang terlihat jelas vagina mereka yang belepotan cairan sperma. Aku tidak tega melihat begitu, namun Tono menarik tanganku untuk mendekati dua polwan itu. Tono terlihat sangat nafsu sekali, ia langsung membuka semua pakaiannya dan langsung memasukkan penisnya ke dalam lubang vagina Eka. "Tuh si Felicia nganggur", katanya. Bodoh amat pikirku, toh polwan ini sudah tidak sadarkan diri, aku pun kemudian meremas-remas susu Felicia yang menggemaskan. Wajahnya yang cantik sangat menarik perhatianku, ingin sekali kuciumi wajahnya, tapi aku sedikit geli dengan sperma yang menempel di sekitar bibirnya, jadi ku urungkan niatku itu. Akhirnya setelah puas meremas susu Felicia, aku pun mencoba memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Penisku yang dari tadi mengeras dengan kondisi resleting yang terbuka, sudah tak sabar mencari labuhannya. Aku dan Tono pun menggenjot dua polwan yang sudah pingsan tersebut. Sambil menggenjot Felicia yang tidak sadarkan diri, aku mendengar rintihan minta ampun di kumpulan sana, kumpulan tujuh pria melawan satu gadis perempuan. Olivia kelihatan terus disiksa, tujuh pria tersebut bergiliran menikmati setiap lubangnya, dari mulut, vagina, hingga lubang anusnya dimanfaatkan. "Saakkiiiii...ttt...tt....." rintihan terus terdengar, rambutnya dijambak, pipinya ditampar, puting susu nya digigit, sungguh malang sekali nasibnya, malah lebih malang dari nasib kedua temannya ini. Hampir satu jam aku menyetubuhi tubuh Felicia yang pingsan, dan aku pun menyemprotkan sperma hangatku di dalam vagina Felicia, sungguh nikmat sekali, sampai aku tak mau mencabut penisku, dan aku hanya beristirahat memeluk Felicia. Aku lihat Tono pun sudah mencapai titik klimaknya, setelah menyembutkan spermanya, Tono pun mencabut penisnya, tapi ia tidak terlihat lelah. "Man, minggir dong..." pinta Tono, sepertinya dia ingin menikmati Felicia juga. Gila, pikirku, Tono memang memiliki nafsu yang melebihi manusia normal, walau sudah ber-ejakulasi berkali-kali, ia masih tak mau melepaskan kesempatan seperti ini. Demi kepuasan teman, aku pun mengalah, aku menepi untuk beristirahat sejenak. Ku lihat tujuh pria bercadar juga masih bersemangat mengerjai Olivia, bahkan pria-pria itu berkata akan berpesta dengan tiga polwan ini hingga pagi hari. "Man... Bangun man..." aku terlelap dan Tono membangunkanku, kulihat ke langit sudah terang. Aku tidak tahu semalam para penjahat bercadar memperkosa Felicia, Eka dan Olivia hingga berapa ronde, yang jelas aku melihat arloji ku sudah menunjukkan pukul 06:12. Muka Tono sedikit memar, sepertinya ia dipukuli para penjahat itu. Aku lihat Eka sibuk memakaikan pakaian pada Olivia yang pingsan. "Polwan yang satu lagi mana?" tanyaku pada Tono. "Dia ke mobil cari bantuan..." kata Tono yang megangi pipinya yang lebam. "Woi! Bantu kita!" teriak Eka. Aku dan Tono pun kemudian membantu Eka memapah Olivia agar keluar dari hutan ini. Sampai di depan, aku lihat sudah ada mobil patroli yang lain di tepi jalan. Beberapa polisi pria langsung mendekati kami dan mengendong Olivia. Kami pun masuk ke dalam mobil patroli dan segera dibawa ke kantor polisi. Namun sebelum ke kantor polisi, kami dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa. Aku dan Tono tidak mengalami luka yang serius, cuma luka memar di pipi Tono yang diberi sedikit obat semacam salep. Sedangkan para polwan mengalami luka serius, vagina mereka sobek karena diobok-obok paksa oleh para penjahat itu. Olivia pun terpaksa harus rawat inap karena dia masih pingsan. Aku dan Tono beserta polwan lain pun dibawa ke kantor polisi setelah dirawat beberapa jam. Kami disuruh membuat laporan dan menjadi saksi atas kejadian tersebut. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku tertidur, namun Tono menjelaskan bahwa dia dipukuli para penjahat itu saat ia memohon agar tidak membunuh kami semua. Namun hingga sekarang ke tujuh pria bercadar tersebut belum diketahui identitasnya. Polisi yakin bahwa mereka adalah residivis yang memiliki dendam dengan para polwan itu. Karena tidak ada bukti yang lebih akurat, polisi tidak meneruskan penyelidikan. Selain penjahat itu bercadar, mereka pun menggunakan sarung tangan, tidak ada sisa jejak mereka kecuali sperma-sperma kering yang melekat di tubuh para polwan. TAMAT
Mau Yang HOT HOT
CERITA DEWASA ~ KU RELAKAN PERAWAN KU DEMI KE JAKARTA
Cerita Dewasa ~ Ku Relakan Perawan Ku Demi Ke Jakarta
Gimana Gan ?? udah pada naik birahinya... ?? :D Have fun
Selamat semua !!! nih ane post cerita dewasa hot khusus buat kamu - kamu semua yang doyan sama cerita dewasa ,... Cekidot !!
Aku adalah seorang gadis dari Kawanua, sebut saja namaku Inge, aku anak pertama dari 6 bersaudara dan aku satu-satunya anak perempuan. Kehidupan ekonomi keluargaku bisa dibilang mencemaskan. Beruntung aku bisa tamat SMA, ini karena aku mendapat beasiswa dari Yayasan Super Semar.
Aku sedih melihat keadaan keluargaku, ayahku adalah seorang Pegawai Negeri golongan II, ibuku hanyalah seorang Ibu Rumah Tangga yang tidak mempunyai skill, kerjanya hanya mengurus putra-putrinya. Rasanya aku ingin membantu ayah, mencari uang. Tapi apalah daya aku hanya lulusan sekolah menengah, namun begitu kucoba untuk melamar kerja di perusahaan yang ada di kota Manado. Hasilnya nihil, tak satupun perusahaan yang menerima lamaranku. Aku mahfum, disaat krisis sekarang ini banyak PT yang jatuh bangkrut, kalaupun ada PT yang bertahan itu karena mem-PHK sebagian karyawannya.
Lalu aku berpikir, kenapa aku tidak ke Jakarta saja, kata orang di Ibukota banyak lowongan pekerjaan, dan aku teringat tetanggaku Mona namanya, dia itu katanya sukses hidup di Jakarta, terbukti kehidupan keluarganya meningkat drastis. Dahulu kehidupan keluarga Mona tidak jauh berbeda dengan keadaan keluargaku, pas-pasan. Tapi sejak Mona merantau ke Jakarta, ekonomi keluarganya makin lama makin berubah. Bangunan rumah Mona kini sudah permanen, isi perabotnya serba baru, dari kursi tamu, tempat tidur semuanya mewah, juga TV 29" antena parabola dan VCD mereka miliki. Aku ingin seperti Mona, toh dia juga hanya tamatan SMA. Kalau dia bisa kenapa aku tidak? Aku harus optimis.
Pada suatu hari di bulan September, tahun 1998 aku pamit kepada keluargaku untuk merantau ke Jakarta. Meskipun berat papa dan mama merelakan kepergianku. Dengan bekal uang Rp 75.000 dan tiket kelas Ekonomi hasil hutang papaku di kantor, aku akhirnya meninggalkan desa tercinta di Kawanua. Dari desa aku menuju pelabuhan Bitung, aku harus sudah sampai di pelabuhan sebelum pukul 6 sore karena KM Ciremai jurusan Tg.Priok berangkat jam 19:00 WIT, waktu satu jam tentu cukup untuk mencari tempat yang nyaman. Karena tiketku tidak mencantumkan nomor seat, maklum kelas ekonomi, aku berharap mendapat lapak untuk menggelar tikar ukuran tubuhku. Tapi sial, angkutan yang menuju pelabuhan begitu terlambat, pada waktu itu jam sudah menunjuk pukul 18:45. Waktuku hanya 15 menit. Ternyata KM.Ciremai sudah berlabuh, aku melihat hiruk pikuk penumpang berebut menaiki tangga, aku tergolong calon penumpang yang terakhir, dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha lari menuju KM.Ciremai, aku hanya menggendong tas punggung yang berisi pakaian 3 potong.
Pada suatu hari di bulan September, tahun 1998 aku pamit kepada keluargaku untuk merantau ke Jakarta. Meskipun berat papa dan mama merelakan kepergianku. Dengan bekal uang Rp 75.000 dan tiket kelas Ekonomi hasil hutang papaku di kantor, aku akhirnya meninggalkan desa tercinta di Kawanua. Dari desa aku menuju pelabuhan Bitung, aku harus sudah sampai di pelabuhan sebelum pukul 6 sore karena KM Ciremai jurusan Tg.Priok berangkat jam 19:00 WIT, waktu satu jam tentu cukup untuk mencari tempat yang nyaman. Karena tiketku tidak mencantumkan nomor seat, maklum kelas ekonomi, aku berharap mendapat lapak untuk menggelar tikar ukuran tubuhku. Tapi sial, angkutan yang menuju pelabuhan begitu terlambat, pada waktu itu jam sudah menunjuk pukul 18:45. Waktuku hanya 15 menit. Ternyata KM.Ciremai sudah berlabuh, aku melihat hiruk pikuk penumpang berebut menaiki tangga, aku tergolong calon penumpang yang terakhir, dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha lari menuju KM.Ciremai, aku hanya menggendong tas punggung yang berisi pakaian 3 potong.
Aku sudah berada di dek kapal kelas ekonomi, tapi hampir semua ruangan sudah penuh oleh para penumpang. Keringat membasahi seluruh tubuhku, ruangan begitu terasa pengap oleh nafas-nafas manusia yang bejibun. Aku hanya bisa berdiri di depan sebuah kamar yang bertuliskan Crew, di sekitarku terdapat seorang Ibu tua bersama 2 orang anak laki-laki usia sekolah dasar. Mereka tiduran di emperan tapi kelihatannya mereka cukup berbahagia karena dapat selonjoran. Aku berusaha mencari celah ruang untuk dapat jongkok. Aku bersyukur, Ibu Tua itu rupanya berbaik hati karena bersedia menggeserkan kakinya, kini aku dapat duduk, tapi sampai kapan aku duduk kuat dengan cara duduk begini. Sedangkan perjalanan memakan waktu 2 hari 2 malam.
Tidak lama kemudian KM.Ciremai berangkat meninggalkan pelabuhan Bitung, hatiku sedikit lega, dan aku berdoa semoga perjalanku ini akan mengubah nasib. Tak sadar aku tertidur, aku sedikit terkejut sewaktu petugas menanyakan tiket, aku ingat tiketku ada di dalam tas punggungku. Tapi apa lacur, tasku raib entah dimana, aku panik, aku berusaha mencari dan bertanya kepada Ibu tua dan anak laki-lakinya, tapi mereka hanya menggelengkan kepala.
"Cepat keluarkan tiketmu.." ujar seorang petugas sedikit menghardik.
"Aku kehilangan tas, tiket dan uangku ada di situ.." jawabku dengan sedih.
"Hah, bohong kamu, itu alasan kuno, bilang aja kamu tak membeli tiket, Ayo ikut kami ke atas," bentak petugas yang bertampang sangar.
Akhirnya aku dibawa ke dek atas dan dihadapkan kepada atasan petugas tiket tadi.
"Oh.. ini orangnya, berani-beraninya kamu naik kapal tanpa tiket," kata sang atasan tadi.
"Tiketku hilang bersama pakaianku yang ada di tas, saya tidak bohong Pak, tapi benar-benar hilang.."
"Bah itu sih alasan klasik Non, sudah ratusan orang yang minta dikasihani dengan membuat alasan itu." ucapnya lagi.
"Kalau Bapak tak percaya ya sudah, sekarang aku dihukum apapun akan aku lakukan, yang penting aku sampai di Jakarta."
"Bagus, itu jawaban yang aku tunggu-tunggu.." ujar lelaki berseragam putih-putih itu. “Ikut aku…” ujarnya sambil berjalan ke ruangannya.
Kalau kutaksir mungkin lelaki tersebut baru berusia 45 tahun, tapi masih gagah, tinggi, tegap, padat dan atletis. Otot-ototnya tampak bersembulan dari balik seragamnya yang pas ukurannya itu. Hanya kumis dan rambutnya yang menonjolkan ketuaannya karena agak beruban.
"Tapi ingat kamu sudah berjanji, akan melakukan apa saja.." ujar lelaki itu, seraya menunjukkan jarinya ke jidatku.
"Sekarang kamu mandi, biar tidak bau, tuh handuknya dan di sana kamar mandinya.." sambil menunjuk ke arah kiri.
Betapa girang hatiku, diperlakukan seperti itu, aku tidak menyangka lelaki itu ternyata baik juga. Betapa segarnya nanti setelah aku mandi.
"Terima kasih Pak," ujarku seraya memberanikan diri untuk menatap wajahnya, ternyata ganteng juga.
"Jangan panggil Pak, panggil aku Kapten.." tegasnya.
Aku sempat membaca namanya yang tertera di baju putihnya. "Kapten Jhonny" itulah namanya.
Aku sekarang sudah berada di kamar mandi.
"Wah, betapa wanginya tuh kamar mandi," gumamku nyaris tak terdengar. Kunyalakan showernya maka muncratlah air segar membasahi tubuhku yang mulus ini, kugosok-gosokan tubuhku dengan sabun, kuraih shampo untuk mencuci rambutku yang sempat lengket karena keringat.
"Cepat keluarkan tiketmu.." ujar seorang petugas sedikit menghardik.
"Aku kehilangan tas, tiket dan uangku ada di situ.." jawabku dengan sedih.
"Hah, bohong kamu, itu alasan kuno, bilang aja kamu tak membeli tiket, Ayo ikut kami ke atas," bentak petugas yang bertampang sangar.
Akhirnya aku dibawa ke dek atas dan dihadapkan kepada atasan petugas tiket tadi.
"Oh.. ini orangnya, berani-beraninya kamu naik kapal tanpa tiket," kata sang atasan tadi.
"Tiketku hilang bersama pakaianku yang ada di tas, saya tidak bohong Pak, tapi benar-benar hilang.."
"Bah itu sih alasan klasik Non, sudah ratusan orang yang minta dikasihani dengan membuat alasan itu." ucapnya lagi.
"Kalau Bapak tak percaya ya sudah, sekarang aku dihukum apapun akan aku lakukan, yang penting aku sampai di Jakarta."
"Bagus, itu jawaban yang aku tunggu-tunggu.." ujar lelaki berseragam putih-putih itu. “Ikut aku…” ujarnya sambil berjalan ke ruangannya.
Kalau kutaksir mungkin lelaki tersebut baru berusia 45 tahun, tapi masih gagah, tinggi, tegap, padat dan atletis. Otot-ototnya tampak bersembulan dari balik seragamnya yang pas ukurannya itu. Hanya kumis dan rambutnya yang menonjolkan ketuaannya karena agak beruban.
"Tapi ingat kamu sudah berjanji, akan melakukan apa saja.." ujar lelaki itu, seraya menunjukkan jarinya ke jidatku.
"Sekarang kamu mandi, biar tidak bau, tuh handuknya dan di sana kamar mandinya.." sambil menunjuk ke arah kiri.
Betapa girang hatiku, diperlakukan seperti itu, aku tidak menyangka lelaki itu ternyata baik juga. Betapa segarnya nanti setelah aku mandi.
"Terima kasih Pak," ujarku seraya memberanikan diri untuk menatap wajahnya, ternyata ganteng juga.
"Jangan panggil Pak, panggil aku Kapten.." tegasnya.
Aku sempat membaca namanya yang tertera di baju putihnya. "Kapten Jhonny" itulah namanya.
Aku sekarang sudah berada di kamar mandi.
"Wah, betapa wanginya tuh kamar mandi," gumamku nyaris tak terdengar. Kunyalakan showernya maka muncratlah air segar membasahi tubuhku yang mulus ini, kugosok-gosokan tubuhku dengan sabun, kuraih shampo untuk mencuci rambutku yang sempat lengket karena keringat.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, aku bingung untuk bersalin pakaian, aku harus bilang apa kepada Sang Kapten. "Wah cantik juga kamu," tiba-tiba suara itu mengejutkan diriku. Dan yang lebih mengejutkan adalah pelukan Sang Kapten dari arah belakang. Aku hanya terdiam, "Siapa namamu, Sayang?" bisiknya mesra. "Inge.." jawabku lirih. Aku tidak berusaha berontak, karena aku ingat akan janjiku tadi. Karena aku diam tak berreaksi, maka tangan Sang Kapten makin berani saja menjelajahi dadaku dan menciumi leher serta telingaku. Aku menggelinjang, entah geli atau terangsang, yang pasti sampai usiaku 19 tahun aku belum pernah merasakan sentuhan lelaki. Bukannya tidak ada lelaki yang naksir padaku, ini karena sikapku yang tidak mau berpacaran. Banyak teman sekelas yang berusaha mendekatiku, selain cantik, tubuhku seksi karena aku rutin voli, renang, jogging dan senam. Aku juga tergolong pandai, makanya aku mendapat beasiswa. Maka tak heran banyak lelaki di sekolahku yang berusaha memacariku, tapi aku cuek, alias tidak merespon.
"Ooohh.. jangan Kapten." hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku ketika pria separuh baya itu menyentuh barang yang amat berharga bagi wanita, bulu-bulu lembut yang tumbuh di sekitar vaginaku dielusnya dengan lembut, sementara handuk yang melekat di tubuhku sudah jatuh ke lantai. Dan aku pun tahu bahwa lelaki ini sudah bertelanjang bulat. Sungguh seksi sekali dia kalau bugil begini. Otot-ototnya yang kekar, menyembul nakal di sana-sini, seakan-akan menantangku untuk mengekslorasinya lebih jauh.
Aku merasakan benda kenyal yang mengeras menyentuh pantatku, nafas hangat dan wangi yang memburu terus menjelajahi punggungku, tangannya yang tadi mengelus vaginaku sekarang meremas-remas kedua payudaraku yang ranum, ini membuat dadaku membusung dan mengeras. Aku tak percaya, tangan lelaki ini seolah mengandung magnet, karena mampu membangkitkan gairah yang tak pernah kurasakan seumur hidupku.
"Ooohh.. aahh.." hanya desahan panjang yang dapat kuekspresikan bahwa diriku berada dalam libido yang betul-betul mengasyikan.
"Inge kau betul-betul lugu, pegang dong batangku," kata Kapten Jhonny, seraya meraih tanganku dan menempelkannya ke batang zakarnya yang keras, panjang tapi kenyal.
"Jangan diam saja, remaslah, biar kita sama-sama enak.." ujarnya lagi.
Akhirnya walaupun aku sebelumnya tidak pernah melakukan senggama, naluriku seolah membimbing apa yang harus kuperbuat apabila bercumbu dengan seorang laki-laki. Akhirnya aku berbalik, kuraih batang kemaluannya kuremas dan kukocok-kocok, sampai kumainkan biji pelirnya yang licin. Sang Kapten mendesah-desah, "Ooohh.. aachh.. enak sekali Sayang, teruskan.. oh teruskan.." sambil matanya terpejam-pejam. Aku jongkok, tanpa ragu kujilat dan kukulum torpedo Sang kapten, sampai terbenam ke tenggorokanku. Namun karena ukurannya yang kebesaran, membuatku susah untuk menelannya.
Aku benar-benar menikmatinya seperti menikmati es Jolly kesukaanku di waktu kecil dulu. Aku tak peduli erangannya, kusedot, kusedot dan kusedot terus, sampai akhirnya zakar Sang Kapten yang panjangnya 20 centi itu memuncratkan cairan hangat ke mulutku yang mungil. "Aaahh.. aku sudah tak kuat Inge," gumamnya. Betapa nikmatnya cairan spermanya, sampai tak sadar aku telah menelan habis tanpa tersisa, ini membuat seolah Sang Kapten tak mampu untuk tegak berdiri. Dia bersandar di dinding kapal apalagi gerakan kapal sekarang ini sudah tak beraturan kadang bergoyang ke kiri kadang kekanan.
"Kamu betul-betul hebat Inge," puji Kapten Jhonny sambil mencium bibirku.
"Inge jangan kau anggap aku sudah kalah, tunggu sebentar.."
Dia bergegas menuju lemari kecil, lantas mengambil sesuatu dari botol kecil dan menelannya lantas membuka kulkas dan mengambil botol minuman sejenis Kratingdaeng.
"Sini Sayang.." ujar sang kapten memanggilku mesra.
"Istirahat dulu kita sebentar, ambillah minuman di kulkas untukmu," lanjut Kapten Jhonny.
Kubuka kulkas dan kuraih botol kecil seperti yang diminum Kapten Jhonny. Aku meminumnya sedikit demi sedikit, "Ooohh.. sedap sekali minuman ini.. aku tak pernah merasakan betapa enaknya.. minuman apa ini." Ternyata label minuman ini tertulis huruf-huruf yang aku tak paham, mungkin aksara China, mungkin Jepang mungkin juga Korea. Ah persetan.. yang penting tenggorokanku segar.
"Kau berbaringlah di di situ," pinta Kapten Jhonny sambil menunjuk tempat tidurnya yang ukurannya tidak begitu besar. Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk dan membal. Kulihat jam dinding sudah menunjuk pukul 12 malam. Aku heran mataku tak merasa ngantuk, padahal biasanya aku sudah tidur sebelum pukul 22:00. Aku sengaja tidak menggunakan selimut untuk menutupi tubuhku, kubiarkan begitu saja tubuh indahku yang polos, barangkali ini akan membangkitkan gairah libido Sang Kapten yang tadi sudah down. Aku berharap semoga Sang Kapten akan terangsang melihat dadaku yang sengaja kuremas-remas sendiri.
Sang Kapten sudah bangkit dari kursi santainya, dia menenggak sebotol lagi minuman sejenis Kratindaeng. Dia sudah berada di tepi ranjang, sekarang dia mulai mengelus-elus kakiku dari ujung jari merambat ke atas dan berhenti lama-lama di pahaku, mengusap-usap dan menjilatinya, dan sekarang lidahnya sudah berada di mulut vaginaku. "Ooohh.. geli.."
Sejurus kemudian lidahnya dijulurkan dan menyapu permukaan bibir vaginaku. Pahaku sengaja kulebarkan, hal ini membuat Sang Kapten bertambah buas dan liar, diseruputnya klitorisku. "Ooohh.. aahh.. teruskan Kapten, lanjutkan Kapten.. Ooohh.. nikmat sekali Kapten.." Tangannya tidak tinggal diam, diraihnya kedua payudaraku, diremasnya dan tak lupa memelintir putingku dengan mesra.
"Ooohh.. aku sudah tak tahan Kapten.." desisku.
"Tahan Sayang.. tahan sebentar.. biarkan aku menikmati vaginamu yang wangi ini.. aku tak pernah merasakan wanginya vagina dari wanita lain.." Pertanda kapten ini sering ngentotin banyak wanita selain diriku.
"Sruupp.. sruupp.. sruupp.." Terus saja mulut Kapten Jhonny dengan rajinnya menjelajah bagian dalam vaginaku yang sudah empot-empotan ini akibat rangsangan yang amat tinggi.
"Sudah Kapten.. lekas masukkan batang zakarmu, aku sudah tidak tahan.."
"Baik, rasakanlah Sayang.. betapa nikmatnya rudalku ini.."
"Tapi pelan-pelan Kapten, aku benar-benar masih perawan.."
"Oke, aku melakukannya dengan hati-hati.." janji Kapten Jhonny.
"Buka lebar pahamu, Inge.." saran Kapten Jhonny.
Dan..
"Blleess.."
"Ooohh.. aahh.." desisku, padahal zakar itu baru masuk tiga perempatnya.
"Bles.. bless.."
"Ooohh.." erangku panjang, aku tahu batang sepanjang 20 centi itu sudah merusak selaput daraku.
Ditariknya lagi rudalnya, lantas dimasukannya lagi seirama dengan goyangan KM Ciremai oleh ombak laut.
"Bless.. bless.. bless.." lalu kami pun bergumul dengan liarnya, saling mencumbu dan mencabik dengan ganas.
"Ooohh.. oohh.. oohh.. aahh.. aahh.." itu saja yang keluar dari mulut kami berdua sepanjang permainan ini.
"Aku mau keluar Kapten," ujarku memberi tahu Kapten Jhonny, setelah kami bercinta 30 menit lebih.
"Tahan Sayang.. sebentar.. aku juga ingin keluar, sekarang kita hitung sampai tiga. Satu.. dua.. tiga.."
"Crott.. crott.. crot.." sperma Kapten Jhonny membasahi bagian gelap vaginaku. Betapa hangat dan nikmatnya air manimu Jhonny. Hal ini memancing cairanku ikut membanjiri kemaluanku sampai meluber ke permukaan.
"Ooohh.. jangan Kapten." hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku ketika pria separuh baya itu menyentuh barang yang amat berharga bagi wanita, bulu-bulu lembut yang tumbuh di sekitar vaginaku dielusnya dengan lembut, sementara handuk yang melekat di tubuhku sudah jatuh ke lantai. Dan aku pun tahu bahwa lelaki ini sudah bertelanjang bulat. Sungguh seksi sekali dia kalau bugil begini. Otot-ototnya yang kekar, menyembul nakal di sana-sini, seakan-akan menantangku untuk mengekslorasinya lebih jauh.
Aku merasakan benda kenyal yang mengeras menyentuh pantatku, nafas hangat dan wangi yang memburu terus menjelajahi punggungku, tangannya yang tadi mengelus vaginaku sekarang meremas-remas kedua payudaraku yang ranum, ini membuat dadaku membusung dan mengeras. Aku tak percaya, tangan lelaki ini seolah mengandung magnet, karena mampu membangkitkan gairah yang tak pernah kurasakan seumur hidupku.
"Ooohh.. aahh.." hanya desahan panjang yang dapat kuekspresikan bahwa diriku berada dalam libido yang betul-betul mengasyikan.
"Inge kau betul-betul lugu, pegang dong batangku," kata Kapten Jhonny, seraya meraih tanganku dan menempelkannya ke batang zakarnya yang keras, panjang tapi kenyal.
"Jangan diam saja, remaslah, biar kita sama-sama enak.." ujarnya lagi.
Akhirnya walaupun aku sebelumnya tidak pernah melakukan senggama, naluriku seolah membimbing apa yang harus kuperbuat apabila bercumbu dengan seorang laki-laki. Akhirnya aku berbalik, kuraih batang kemaluannya kuremas dan kukocok-kocok, sampai kumainkan biji pelirnya yang licin. Sang Kapten mendesah-desah, "Ooohh.. aachh.. enak sekali Sayang, teruskan.. oh teruskan.." sambil matanya terpejam-pejam. Aku jongkok, tanpa ragu kujilat dan kukulum torpedo Sang kapten, sampai terbenam ke tenggorokanku. Namun karena ukurannya yang kebesaran, membuatku susah untuk menelannya.
Aku benar-benar menikmatinya seperti menikmati es Jolly kesukaanku di waktu kecil dulu. Aku tak peduli erangannya, kusedot, kusedot dan kusedot terus, sampai akhirnya zakar Sang Kapten yang panjangnya 20 centi itu memuncratkan cairan hangat ke mulutku yang mungil. "Aaahh.. aku sudah tak kuat Inge," gumamnya. Betapa nikmatnya cairan spermanya, sampai tak sadar aku telah menelan habis tanpa tersisa, ini membuat seolah Sang Kapten tak mampu untuk tegak berdiri. Dia bersandar di dinding kapal apalagi gerakan kapal sekarang ini sudah tak beraturan kadang bergoyang ke kiri kadang kekanan.
"Kamu betul-betul hebat Inge," puji Kapten Jhonny sambil mencium bibirku.
"Inge jangan kau anggap aku sudah kalah, tunggu sebentar.."
Dia bergegas menuju lemari kecil, lantas mengambil sesuatu dari botol kecil dan menelannya lantas membuka kulkas dan mengambil botol minuman sejenis Kratingdaeng.
"Sini Sayang.." ujar sang kapten memanggilku mesra.
"Istirahat dulu kita sebentar, ambillah minuman di kulkas untukmu," lanjut Kapten Jhonny.
Kubuka kulkas dan kuraih botol kecil seperti yang diminum Kapten Jhonny. Aku meminumnya sedikit demi sedikit, "Ooohh.. sedap sekali minuman ini.. aku tak pernah merasakan betapa enaknya.. minuman apa ini." Ternyata label minuman ini tertulis huruf-huruf yang aku tak paham, mungkin aksara China, mungkin Jepang mungkin juga Korea. Ah persetan.. yang penting tenggorokanku segar.
"Kau berbaringlah di di situ," pinta Kapten Jhonny sambil menunjuk tempat tidurnya yang ukurannya tidak begitu besar. Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk dan membal. Kulihat jam dinding sudah menunjuk pukul 12 malam. Aku heran mataku tak merasa ngantuk, padahal biasanya aku sudah tidur sebelum pukul 22:00. Aku sengaja tidak menggunakan selimut untuk menutupi tubuhku, kubiarkan begitu saja tubuh indahku yang polos, barangkali ini akan membangkitkan gairah libido Sang Kapten yang tadi sudah down. Aku berharap semoga Sang Kapten akan terangsang melihat dadaku yang sengaja kuremas-remas sendiri.
Sang Kapten sudah bangkit dari kursi santainya, dia menenggak sebotol lagi minuman sejenis Kratindaeng. Dia sudah berada di tepi ranjang, sekarang dia mulai mengelus-elus kakiku dari ujung jari merambat ke atas dan berhenti lama-lama di pahaku, mengusap-usap dan menjilatinya, dan sekarang lidahnya sudah berada di mulut vaginaku. "Ooohh.. geli.."
Sejurus kemudian lidahnya dijulurkan dan menyapu permukaan bibir vaginaku. Pahaku sengaja kulebarkan, hal ini membuat Sang Kapten bertambah buas dan liar, diseruputnya klitorisku. "Ooohh.. aahh.. teruskan Kapten, lanjutkan Kapten.. Ooohh.. nikmat sekali Kapten.." Tangannya tidak tinggal diam, diraihnya kedua payudaraku, diremasnya dan tak lupa memelintir putingku dengan mesra.
"Ooohh.. aku sudah tak tahan Kapten.." desisku.
"Tahan Sayang.. tahan sebentar.. biarkan aku menikmati vaginamu yang wangi ini.. aku tak pernah merasakan wanginya vagina dari wanita lain.." Pertanda kapten ini sering ngentotin banyak wanita selain diriku.
"Sruupp.. sruupp.. sruupp.." Terus saja mulut Kapten Jhonny dengan rajinnya menjelajah bagian dalam vaginaku yang sudah empot-empotan ini akibat rangsangan yang amat tinggi.
"Sudah Kapten.. lekas masukkan batang zakarmu, aku sudah tidak tahan.."
"Baik, rasakanlah Sayang.. betapa nikmatnya rudalku ini.."
"Tapi pelan-pelan Kapten, aku benar-benar masih perawan.."
"Oke, aku melakukannya dengan hati-hati.." janji Kapten Jhonny.
"Buka lebar pahamu, Inge.." saran Kapten Jhonny.
Dan..
"Blleess.."
"Ooohh.. aahh.." desisku, padahal zakar itu baru masuk tiga perempatnya.
"Bles.. bless.."
"Ooohh.." erangku panjang, aku tahu batang sepanjang 20 centi itu sudah merusak selaput daraku.
Ditariknya lagi rudalnya, lantas dimasukannya lagi seirama dengan goyangan KM Ciremai oleh ombak laut.
"Bless.. bless.. bless.." lalu kami pun bergumul dengan liarnya, saling mencumbu dan mencabik dengan ganas.
"Ooohh.. oohh.. oohh.. aahh.. aahh.." itu saja yang keluar dari mulut kami berdua sepanjang permainan ini.
"Aku mau keluar Kapten," ujarku memberi tahu Kapten Jhonny, setelah kami bercinta 30 menit lebih.
"Tahan Sayang.. sebentar.. aku juga ingin keluar, sekarang kita hitung sampai tiga. Satu.. dua.. tiga.."
"Crott.. crott.. crot.." sperma Kapten Jhonny membasahi bagian gelap vaginaku. Betapa hangat dan nikmatnya air manimu Jhonny. Hal ini memancing cairanku ikut membanjiri kemaluanku sampai meluber ke permukaan.
Kami berdua terkulai lemas, tapi Kapten Jonny sempat meraba bibir kemaluanku dan jarinya seolah mencungkil sesuatu dari vaginaku, ternyata dia menunjukkan cairan merah kepadaku, dan ternyata adalah darah perawanku. Dijilatnya darahku sambil berkata, "Terima kasih Inge, kamu betul-betul perawan.." Aku hanya menangis, menangisi kenikmatan yang sama sekali tak kusesalkan. Aktivitas senggama ini berlangsung kembali sampai matahari muncul. Lantas aku tidur sampai siang, makan, tidur dan malamnya kami melakukannya lagi berulang-ulang seolah tiada bosan.
Akhirnya Pelabuhan Tanjung Priok sudah berada di pelupuk mataku. Sebelum turun dari kapal aku dibelikan baju baru, dan dibekali uang yang cukup. Tidak pernah aku lupakan pengalaman ku ngentot dengan kapten kapal, mudah - mudahan suatu saat nanti pas aku pulang kampung bisa numpang kapal itu lagi. TAMAT
Akhirnya Pelabuhan Tanjung Priok sudah berada di pelupuk mataku. Sebelum turun dari kapal aku dibelikan baju baru, dan dibekali uang yang cukup. Tidak pernah aku lupakan pengalaman ku ngentot dengan kapten kapal, mudah - mudahan suatu saat nanti pas aku pulang kampung bisa numpang kapal itu lagi. TAMAT
Gimana Gan ?? udah pada naik birahinya... ?? :D Have fun
Mau Yang HOT HOT
Langganan:
Postingan (Atom)
