Hukum Merayakan Imlek
Bismillahir rahmair rahim............
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh 十五冥 元宵节 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun”.
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari pemerintahan Huangdi. Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi “Tahun Tionghoa” dapat japada tahun 4707, 4706, atau 4646.
Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan populasi suku Han yang signifikan, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.
Di Indonesia, Sejak tahun 1968 s/d 1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang untuk dirayakan di depan umum. Hal itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Serta melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk di antaranya tahun baru Imlek.
Namun, sejak kepemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan tahun baru Imlek, yaitu di mulai pada tahun 2000. Di mana, Presiden Abdurrahman Wahid secara resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967. Serta menggantikannya dengan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Selanjutnya, baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu Hari Libur Nasional, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 hingga saat ini. (Sumber: Wikipedia)
Kali ini Muslim.Or.Id akan menjelaskan hukum merayakan imlek bagi seorang muslim.
Masuk Dalam Islam Secara Kaffah
Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208). Kata Mujahid, maksud ‘masuklah dalam Islam secara keseluruhan‘ berarti “Lakukanlah seluruh amalan dan berbagai bentuk kebaikan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir). Artinya di sini, jika suatu kebaikan bukan dari ajaran Islam, maka seorang muslim tidak boleh bercapek-capek melakukan dan memeriahkannya. Karena kita diperintahkan dalam ayat untuk mengikuti seluruh ajaran Islam saja, bukan ajaran di luar Islam.
Ketika menjelaskan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Laksanakanlah seluruh ajaran Islam, jangan tinggalkan ajaran Islam yang ada. Jangan sampai menjadikan hawa nafsu sebagai tuan yang dituruti. Artinya, jika suatu ajaran bersesuaian dengan hawa nafsu, barulah dilaksanakan dan jika tidak, maka ditinggalkan,. Yang mesti dilakukan adalah hawa nafsu yang tunduk pada ajaran syari’at dan melakukan ajaran kebaikan sesuai kemampuan. Jika tidak mampu menggapai kebaikan tersebut, maka dengan niatan saja sudah bisa mendapatkan pahala kebaikan.” Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di tentang tafsiran ayat di atas.
Islam Hanya Mengenal Dua Hari Raya Besar
Dalam Islam, hari raya besar itu cuma dua, tidak ada yang lainnya, yaitu hari raya Idul Fithri (1 Syawal) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Kalau dikatakan bahwa dua hari raya di atas (Idul Fithri dan Idul Adha) yang lebih baik, maka selain dua hari raya tersebut tidaklah memiliki kebaikan. Termasuk dalam hal ini perayaan yang diadakan oleh sebagian muslim berdarah Tionghoa yaitu perayaan Imlek. Sudah seharusnya setiap muslim mencukupkan dengan ajaran Islam yang ada, tidak perlu membuat perayaan baru selain itu. Karena Islam pun telah dikatakan sempurna, sebagaimana dalam ayat,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Kalau ajaran Islam sudah sempurna, maka tidak perlu ada perayaan baru lagi.
Perayaan di luar dua perayaan di atas adalah perayaan Jahiliyah karena yang dimaksud ajaran jahiliyah adalah setiap ajaran yang menyelisihi ajaran Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sehingga merayakan perayaan selain perayaan Islam termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ فِى الْحَرَمِ ، وَمُبْتَغٍ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ
“Manusia yang dibenci oleh Allah ada tiga: (1) seseorang yang berbuat kerusakan di tanah haram, (2) melakukan ajaran Jahiliyah dalam Islam, dan (3) ingin menumpahkan darah orang lain tanpa jalan yang benar.” (HR. Bukhari no. 6882).
Itu Bukan Perayaan Umat Islam
Apalagi jika ditelusuri, perayaan Imlek ini bukanlah perayaan kaum muslimin. Sehingga sudah barang tentu, umat Islam tidak perlu merayakan dan memeriahkannya. Tidak perlu juga memeriahkannya dengan pesta kembang api maupun bagi-bagi ampau, begitu pula tidak boleh mengucapkan selamat tahun baru Imlek.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 4031 dan Ahmad 2: 92. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Tidak boleh pula seorang muslim bersikap boros pada perayaan non-muslim dengan memeriahkannya melalui pesta kembang api. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27)
Memberi ucapan selamat tahun baru Imlek, ada yang mengucapkan do’a ‘gong he xin xi’ (hormat bahagia menyambut tahun baru) atau ‘gong xi fa cai’ (hormat bahagia berlimpah rejeki) pun terlarang. Hal ini disebabkan karena telah ada klaim ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa mengucapkan selamat atau mendoakan untuk perayaan non-muslim itu haram. Ijma’ adalah satu dalil yang menjadi pegangan. Nukilan ijma’ tersebut dikatakan oleh Ibnul Qayyim, di mana beliau rahimahullah berkata,
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم ، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه ، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal dan selamat tahun baru imlek, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441).
Kalau dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Dan umat tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itulah yang terkena klaim sesat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.
Bersikap toleran bukan berarti membolehkan segala hal yang dapat meruntuhkan akidah seorang muslim. Namun toleran yang benar adalah membiarkan mereka merayakan tanpa perlu loyal (wala’) pada perayaan mereka.
Hanya Allah yang memberi taufik.
—
Riyadh-KSA, 29 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasikan Oleh Ustdaz Abu Hasan
Artikel Muslim.Or.Id
Mau Yang HOT HOT