Menyingkap Kedustaan tentang Ibnu Taimiyah

Menyingkap Kedustaan tentang Ibnu Taimiyah













Siapa tidak mengenal nama lbnu
Taimiyyah, seorang tokoh ulama yang
telah berjuang untuk Islam dengan
lidah dan pedangnya. Keharuman



namanya semerbak dikenang
generasi selanjutnya. Hampir-hampir
sejarah Islam tidak pernah
melupakan nama beliau sekaligus
karangan-karangannya yang
menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Semua kalangan mengakui keilmuan
beliau, baik kawan maupun lawan.
Hal itu tidak lain kecuali disebabkan kecerdasan dan keenceran otaknya, keluasan ilmunya, kejeliannya dan kehebatannya, sehingga beliau
mampu mengungguli para pembesar ulama lainnya. ini semua tidak dapat
dipungkiri kecuali oleh segelintir
manusia yang bodoh dan jahil.
Mereka tidaklah berdiri di atas hujjah, melainkan hanya kerancuan, yang mereka sendiripun tidak mengetahui
isi dan maksud perkataan mereka.

Tetapi yang penting, mereka sebarkan
dan tebarkan begitu saja dengan
kejahilan dan kesesatan yang
keterlaluan. Sungguh mereka amat
jauh dari ilmu dan keadilan.

Memang sebagal tokoh ulama
sepertinya sangatlah wajar bila
mendapatkan tuduhan dan celaan,
sebagaimana panutannya, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
tabah menerima berbagai celaan di
dalam menegakkan al-haq.

Syaikh Mansyhur bin Hasan Salman
mengatakan: “Para pencela Syaikhul
Islam lbnu Taimiyyah sangat banyak
sekali. Nenek moyang mereka
sangatlah populer bagi orang yang
mau membaca kitab-kitab para ulama kita. Dan bibit merekapun telah berkembang di sekitar kita sekarang
ini. Mereka tidak membicarakan selain celaan kepada Ibnu Taimiyyah beserta orang-orang yang sejalan dengannya
dari kalangan para sahabat, tabiin
serta orang-orang yang berjalan
di atas petunjuk mereka.
Sesungguhnya penyebab permusuhan yang mereka lancarkan hanyalah
karena aqidah yang shahih.
Yaitu, ketika mereka tidak sanggup
berhadapan langsung dengan al-haq,
merekapun mengganggap bahwa
dengan mencela tokoh-tokoh
pembela kebenaran lebih mudah
untuk melunturkan al-haq itu sendiri.
Hal tersebut telah mereka lakukan
dengan berbagai cara di setiap
tempat dan kesempatan baik melalui
pernyebaran kitab, tulisan, kedustaan
maupun tuduhan” .

Salah satu contoh buku yang berisi
tuduhan dan celaan terhadap
syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
adalah buku “Aqidab Ahlus Sunnah
Wal Jamaah” karya KH Sirajuddin Abbas.

Keberaniannya menuduh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sangat
mengejutkan kita. Lebih mengejutkan
lagi, penulis tersebut seringkali
meminjam nama “Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah” bukan pada tempatnya,
oleh karena itu sangatlah baik sekali
sebelum memasuki pambahasan,
kami kutipkan terlebih dahulu
pengertian Ahlus Sunnah wal
Jama’aah yang sebenarnya. Sebab
banyak sekali orang maupun golongan mengakuinya padahal amalan-amalan mereka jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Imam Ibnu Hazm berkata dalam
kitabnya “Al Fashl fil Milal Wa Nihal”
2/271: “Yang dimaksud Ahlus Sunnah
adalab Ahlul haq dari kalangan para
sahabat, dan setiap orang yang
menempuh jalan mereka dari
kalangan para tabi’in, ahlul hadits dan
para fuqaha dari generasi ke generasi
hingga pada zaman kita ini. Demikian
pula orang-orang awam yang
mengikuti mereka, baik di belahan
timur maupun barat semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala merahmati
mereka semuanya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga
berkata menerangkan definisi Ahlus
Sunnah dalam Majmu’ Fatawa”
3/375 : “Mereka adalah orang-orang
yang berpegang teguh dengan Al-
Qur’an dan As-Sunnah serta apa yang
menjadi kesepakatan para sahabat
dari kalangan Muhajirin dan Anshar,
serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik”.

Beliau juga berkata dalam “Majmu’
Fatawa 3/346: “Barang siapa yang
berkata dengan Al-Qur’an, As Sunnah
dan ijma’ salaf maka dialah Ahlus
Sunnah.”

Pada kesempatan ini kami akan
mencoba menyingkap kedustaan-
kedustaan yang terdapat dalam kitab
“I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’aah”
karya KH. Sirajuddin Abbas hal
270-307 pada judul: Fatwa-fatwa
Ibnu Taimiyah, yang bertentangan
dengan fatwa Ahlus Sunnah wal
Jama’ah”.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
orang-orang yang berakal, orang-
orang yang jauh dari sifat menolak
kebenaran, dan jauh pula dari sifat
yang dikisahkan Allah dalam kitab-
Nya, yang artinya:

"Bahkan mereka berkata
sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu
agama, dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat
petunjuk". [Az Zukhruf :22]

PASAL I
MADZHAB IBNU TAIMIYAH DALAM
ISTIWA’

Hal 270 : “Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas
arsy serupa dengan duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini beberapa kali diulanginya di atas
mimbar masjid Bani Umayah di
Damsyik Syiria dan di Mesir”

Jawaban : “PenuIis fidak menerangkan sumber riwayatnya, sehingga kita bertanya-tanya: “Dari manakah
penulis menukil perkataan itu?”
Di kitab apa dan siapa pengarangnya?! Semua pertanyaan, itu selalu terngiang-ngiang di telinga kita yang tentunya membutuhkan jawaban.

Kami katakan: “Maha suci Allah dari
apa yang dituduhkan!! Sesungguhnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat
jauh dari tuduhan seperti ini.
Bagaimana tidak? Perhatikanlah
perkataan beliau berikut ini baik-baik!
lalu bandingkan dengan tuduhan
penulis ini. Beliau berkata:
“Demikian juga apabila ada seorang
yangmenjadikan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan
sifat makhluk-Nya, Seperti
mengatakan istiwa’ Allah Subhanahu
wa Ta'ala serupa dengan istiwa’
makhluk-Nva atau turunnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan
turunnya makhluk, Maka orang ini
mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan
menyesatkan. Karena Al Qur’an dan
As-Sunnah serta akal menunjukkan
bahwa Allah tidak serupa dengan
makhluk-Nya dalam segala segi”.

Lihatlah wahai saudaraku alangkah
jelasnya perkataan yang bagus ini!

Hal 270 : “Jadi Ibnu Taimiyyah boleh
digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu
kaum yang mengartikan ayat.ayat Al
Qur’an dan hadits nabi secara
lahirnya saja”.

Jawaban : “Ya, boleh-boleh saja tuan
golongkan lbnu Taimiyyah kepada
kaum Dhahiriyyah. Tapi apakah Ibnu
Taimiyyah salah dan sesat karena dia
termasuk kaum Dhahiriyyah?
jika tuan menyalahkan Ibnu Taimiyyah karena dia mengartikan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahirnya saja,
maka tuan juga harus menyalahkan ulama- ulama salaf pendahulu lbnu
Taimiyyah yang telah sepakat
mengartikan ayat-ayat dan hadits
tentang sifat Allah Subhanahu wa
Ta'ala secara lahirnya. Kami nukilkan
di sini dua penukilan saja:

1. Walid bin Muslim berkata: “Aku
bertanya kepada Al-Auza’i, Malik bin
Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin
Sa’ad tentang hadits-hadits masalah
sifat? Mereka semuanya mengatakan
kepadaku: “Jalankanlah sebagaimana
datangnya tanpa tak’yif
(menggambarkan bagaimananya/
bentuknya)”.

2. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata:
“Seluruh Ahlus Sunnah telah
bersepakat untuk menetapkan sifat-
sifat yang terdapat dalam Al-Quran
dan As-Sunnah serta mengartikannya
secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak
menggambarkan bagaimananya/
bentuknya sifat-sifat tersebut. Adapun
Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij
mereka mengingkari sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak
mengartikannya secara dhahirnya.
Lucunya mereka menyangka bahwa
orang yang menetapkannya termasuk
Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk”.

Cukuplah dua nukilan ini saja, kalau
kami turunkan seluruh perkataan
salaf dalam masalah ini maka akan
terlalu panjang. Inilah pendahulu
lbnu Taimiyyah yaitu ulama-ulama
salaf ahlu As Sunnah wal jamaah, lalu
siapakah pendahulumu wahai tuan?
Tunjukkan siapa Ahlus Sunnah yang
tidak mengartikan sifat-sifat Allah
Subhanahu wa Ta'ala secara dhahirnya!.

Hal, 271 : “Ulama-ulama salaf
menyerahkan arti yang hakiki dari
perkataan istiwa’ itu kepada Allah,
memang dalam bahasa arab istiwa’
artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat
istiwa’ lebih baik dan lebih aman bagi
kita, tidak diartikan, hanya diserahkan
artinya kepada Tuhan sambil kita
i’tiqadkan bahwa Tuhan tidak serupa
dengan makhluk”.

Jawaban : Perkataan ini merupakan
kedustaan dan kebohongan nyata
atas nama ulama-ulama salaf, Siapa
salaf yang mempunyai pemikiran
seperti ini? Apakah mereka sahabat
Rasulullah ? Apakah mereka para
Tabi’in? Apakah mereka para ahli
hadits seperti Bukhari, Muslim dan
lainnya? Tidakkah tuan tahu jika
pemikiran seperti ini adalah
pemikiran kaum Mufawwidhah,
kelompok ahlu bid’ah yang sangat
keji? Pemikiran ini telah dibantah
habis oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.

Beliau berkata: “Pendapat Tafwid ini
merupakan celaan terhadap Al
Qur’an dan para Nabi. Karena Allah
menurunkan Al-Quran sebagai
petunjuk bagi manusia, dan Allah
juga memerintahkan para Rasul-Nya
agar menyampaikan dan
menerangkan wahyu, lantas tidak
seorangpun mengetahui artinya?!.
Lalu bagaimana seseorang akan
merenungi Al-Quran yang diturunkan
sebagai petunjuk?
Kalau pendapat ini diterima, maka
setiap mubtadi’ (ahli bid’ah)akan
bebas menyatakan bahwa kebenaran
adalah apa yang diketahui pikiran
dan akal kita masing-masing.
Pemikiran ini merupakan penutup
petunjuk ilahi dan pembuka pintu
bagi para penyeleweng untuk
mengatakan: “Sesungguhnya
petunjuk itu ada pada jalan kami,
bukan pada jalan para nabi, karena
kami mengerti apa yang kami
katakan sedangkan para nabi tidak mengerti apa yang mereka katakan”.
Dari sini, jelaslah bahwa perkataan
Ahlu tafwid (orang yang berfaham
tafwid) yang mengaku mengikuti As-Sunnah dan salaf termasuk perkataan ahlu bid’ah yang sangat keji”.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin menukil perkataan beliau
ini dalam kitabnya “Al Qawaidul Al
Mutsla fi Asma Al Husna” hal 43-44,
lalu mengomentari sebagai berikut:
“Ini merupakan perkataan yang
sangat bagus sekali, keluar dari
pikiran yang cerdas. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya
dengan seluas-luasnya serta
mengumpulkan kita semua di surga-
Nya”.

Hal 271 : “Ulama khalaf menta’wilkan
kata istawa’ itu dengan istaula yakni
menguasai atau memerintah”

Jawaban : Sungguh amat jauh
penyimpangan penulis ini!!! Karena
jelas-jelas bertentangan dengan
pemahaman salafus shaleh. Kami
tidak ingin memperpanjang bantahan
syubhat ini, karena masih banyak lagi
syubhat yang masih perlu dijawab.
Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah telah
membantah secara panjang lebar
dalam “Maj’mu Fatawa” 5/144-149,
demikian juga Ibnu Qayyim,
muridnya, di dalam Mukhtashar
Shawa’iqul Al Mursalah” hal 353-366.

Kami cukupkan di sini dengan tiga
point saja.

1. Penafsiran ini tidak dinukil dari
kalangan salaf, baik dari kalangan
sahabat maupun tabi’in. Tidak ada
seorangpun dari mereka yang
menafsirkan seperti penafsiran ini,
bahkan orang pertama kali yang
menafsirkan istawa’ dengan istaula
adalah sebagian kaum Jahmiyyah dan
Mu’tazilah sebagaimana diceritakan
oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam
bukunya “Al Maqalat” dan Al
Ibanah”.

2. Sesungguhnya menafsirkan kitab
Allah dengan penafsiran yang baru
dan menyelisihi penafsiran Salaf As
shaleh, mengharuskankan dua
perkara, yaitu: entah dia yang salah,
atau Salaf As-shaleh yang salah.
Seorang yang berakal sehat tidak
akan ragu bahwa penafsiran baru
yang menyelisihi Salaf As-shaleh ini
yang pasti salah.

3. Tidak ada di dalam bahasa arab
kalau kata istawa’ berarti istaula,
bahkan hal ini diingkari oleh pakar
bahasa yaitu Ibnu ‘A’rabi.

Orang-orang yang menta’wil istawa’
dengan istaula tidak mempunyai
hujah kecuali suatu bait syair terkenal

َّﻢُﺛ ﻯَﻮَﺘْﺳﺍ ٌﺮْﺸِﺑ ِﻕﺍَﺮِﻌْﻟﺍ ﻰَﻠﻋ ْﻦِﻣ ِﺮْﻴَﻏ ٍﻒْﻴَﺳ
َﻻَﻭ ٍﻡَﺩ ٍﻕﺍَﺮْﻬُﻣ

“Kemudian Bisyr menguasai Irak
tanpa pedang dan tanpa
pertumpahan darah”

Padahal tidak ada penukilan yang
sangat jelas bahwa bait ini termasuk
bait syair arab. Oleh karena itu para
pakar bahasa mengingkari bait ini
seraya mengatakan: “Ini adalah bait
yang dibuat-buat, tidak dijumpai
dalam bahasa”.

Bukankah kalau seorang hendak
berhujjah dengan hadits, ia harus
mengetahui lebih dahulu keabsahan
hadits tersebut? Maka bagaimana
dengan bait syair yang tidak diketahui
sanadnya ini !!!

Hal, 271 : “Karena itu Ibnu Taimiyyah
bukanlah pengikut ulama’-ulama salaf
dan juga ulama’-ulama’ khalaf, ini
harus dicamkan benar-benar. Karena
di Indonesia terdengar desus-desus
bahwa Ibnu Taimiyyah itu pengikut
faham salaf”.

Jawaban : Ya, kalau arti salaf seperti
arti salafnya tuan, maka benar.
Karena antara Syeikhul Islam dengan
orang-orang seperti tuan amat jauh
sekali! Tetapi, jika maksud salaf
adalah mereka yang mengikuti
manhaj Rasullullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, shahabatnya, para tabi’in
dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, maka kami
katakan kepada tuan dengan bait
sya'ir :

“Kemasyhuran para imam kebenaran
itu seperti matahari Tidaklah
terhapuskan melainkan orang yang
buta matanya”

Seorang penyair lain mengatakan:

“Dia memberitahuku bahwa engkau
mengatakan: “Sesungguhnya subuh
adalah malam”.
Apakah orang-orang yang
mempunyai penglihatan telah buta
dari sinar?“

Terus terang saja, perkataan seperti
ini sebenarnya tidaklah layak untuk
ditangggapi. Karena sebagaimana
kata penyair:

“Tidaklah masuk akal sedikitpun,
jika siang hari membutuhkan dalil
(penunjuk jalan)”

Tetapi sebagai jawaban, cukuplah di
sini disebutkan dua point saja:

1. Al-Hafidz Ad-Dzahaby berkata
menyifati syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah: “Beliau telah menolong
sunnnah nabawiyyah, dan manhaj
salaf, beliau juga berhujjah dengan
hujjah yang sulit dicari
tandingannya”.

2. Fatwa Lajnah Daimah (Komisi
Fatwa Saudi) yang diketuai oleh
Syeikh AI-Allamah Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baz, terhadap
pertanyaan sebagai berikut:
“Sebagian orang mengatakan bahwa
lbnu Taimiyyah bukanlah termasuk
Ahlus Sunnah wal jama’ah, sesat dan
menyesatkan. Betulkah ini?”
Jawaban: “Sesungguhnya Syeikh
Ahmad bin Abdul Halim lbnu
Taimiyyyah termasuk imam di antara
imam-imam Ahlus Sunnah wal
jama’ah, berda’wah menuju
kebenaran dan jalan yang lurus,
dengannya Allah menolong As-
Sunnah dan menghancurkan bid’ah.
Barangsiapa menghukumi Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah bukan seperti
di atas, maka dia adalah
mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan
menyesatkan. Dia telah buta tentang
sejarah Islam sehingga yang benar
disangka bathil dan yang bathil
disangka benar. Semua ini dapat
diketahui bagi siapa yang Allah
terangkan pandangannya, serta mau
membaca buku-buku karangannya,
lalu membandingkannya dengan
kitab-kitab musuh-musuhnya” .

Wahai pembaca, camkanlah fatwa ini
baik-baik karena di Indonesia
terdengar desas-desus bahwa Ibnu
Taimiyyah bukan pengikut Ahlus
Sunnah wal jama’ah. Janganlah
tertipu oleh mereka! karena
sesungguhnya mereka berada di
dalam penyimpangan dan kebatilan
yang sangat jauh.

Hal. 274 : “Andai kata diterima faham
Ibnu Taimiyyah, yang berpendapat
bahwa tuhan itu bersila di atas Arsy,
maka bagaimana lagi ayat Al-Qur’an: “Allah bersama kalian dimanapun
kalian berada”
Faham Ibnu Taimiyyah ini menimbul
kan kesan seolah-olah tuhan itu dua
atau yang satu duduk bersila di atas
arsy’ dan yang lain berjalan-jalan
bersama manusia, alangkah kelirunya faham ini”

Jawaban : Sungguh benar kata
penyair:

“Pandangan simpati menutup segala
cacat, Sebagaimana pandangan
kebencian menampakkan segala
kecacatan”

Bukankah pemikiran ini hanyalah
muncul dari fikiran tuan belaka?
Mengapa tuan begitu hasad terhadap
Ibnu Taimiyyah? padahal lbnu
Taimiyyah sangatlah jauh dari apa
yang tuan bayangkan. Bahkan beliau
berkata: “Janganlah seorang
menyangka bahwa ayat-ayat Allah
saling bertentangan. Seperti
mengatakan: ”Ayat yang menerang
kan bahwa Allah berada di atas arsy’ bertentangan dengan ayat:
“Dan Dia bersama kalian di manapun
kalian berada” atau selainnya. Maka
ini merupakan kekeliruan.
Karena Allah bersama kita secara
hakekat dan Allah juga berada diatas
arsy’ secara hakekat pula.
Sebagaimana Allah menggabungkan
hal ini dalam firmanNya, yang
artinya :

"Dialah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari, kemudian
Dia bersemayam di atas arsy’. Dia
mengetahui apa yang masuk pada
bumi dan apa yang keluar darinya,
dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik padanya. Dan Dia
bersama kalian di mana saja kalian
berada, Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan". [Al-Hadid:4]

Allah mengabarkan dalam ayat ini
bahwasanya Dia berada di atas arsy’,
mengetahui segala sesuatu, dan Dia-
pun bersama kita di manapun kita
berada. Inilah ma’na perkataan salaf:

“Sesungguhnya Allah bersama
hamba dengan ilmunya”.

PASAL 2
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH TENTANG
NUZUL

Setelah membawakan hadits tentang
nuzul (turunnya Allah ke langit
dunia), pada hal : 275. penulis
berkata: “Ketika menerangkan hadits
ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan
bagaimana turunnya tuhan dari
langit, yaitu seperti ia turun dari
mimbar”

Jawaban : Sebelum kita menjawab
tuduhan ini, sangatlah baik sekali kita
mengetahui terbih dahulu hadits
nuzul tersebut,

Dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Rabb kita turun ke
langit dunia pada setiap malam yaitu
ketika sepertiga malam terakhir, Dia
berkata: “Barangsiapa yang berdoa
kepada-Ku, akan Kukabulkan, siapa
yang meminta kepada-Ku, akan
Kuberi, Dan siapa yang memohon
ampun kepada-Ku, akan
Kuampuni”.

Setelah kita mengetahui keabsahan
hadits ini, maka kita jawab tuduhan
penulis tersebut terhadap lbnu
Taimiyyah, dengan bertanya
kepadanya: “Dari manakah tuduhan
ini? Dikitab apa ? Siapa yang
menceritakannya? Siapa ulama’ yang
mencatat kisah ini? Mana murid-
muridnya? Siapa ahil sejarah yang
mencatatnya?”
Barangkali penulis mengambil
warisan dari nenek moyang pendusta yang bernama Ibnu Bathuthah yang
telah dibongkar kedustaannya oleh
para ahlu ilmu.

Kita cukupkan di sini dengan
perkataan syeikhul Islam sendiri
setelah membawakan hadits diatas:

“Para salaf, para imam, dan para ahlu
ilmu dan hadits telah bersepakat
membenarkan dan menerima hadits
ini. Barangsiapa yang berkata seperti
perkataan rasul, maka dia benar.
Tetapi barangsiapa yang memahami
hadits ini atau hadits-hadits yang
sejenisnya dengan pemahaman yang
Allah suci darinya, seperti
menyerupakanNya dengan sifat
makhluq, dan menyifatiNya dengan
kekurangan, maka dia telah salah.
Oleh karena itu madzhab salaf
meyakini dalam sifat ini dengan
menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan
tidak menyerupakannya dengan
makhluk. Karena Allah disifati dengan
sifat-sifat terpuji dan suci dari
penyerupaan dengan
makhlukNya”.

Hal : 276 : “Sebagaimana dimaklumi
dunia ini bundar, malam di suatu
tempat, siang di tempat yang lain,
kalau di Indonesia matahari sudah
terbenam dan sudah malam maka di
Makkah baru pukul dua belas siang.
Kalau di lndonesia siang bolong
umpamanya pukul sepuluh pagi,
maka di Belanda betul-betul pukul
dua malam. Dan begitulah
seterusnya. Nah, kalau tuhan turun
ke bawah pada sepertiga malam
terakhir, sebagaimana turunnya Ibnu
Taimiyah, maka pekerjaan tuhan
hanya turun-turun saja setiap waktu
bagi seluruh penduduk dunia. Karena
waktu malam sepertiga malam
terakhir bergantian di seluruh dunia,
sedang tuhan hanya satu.”

Jawaban : Demikianlah jika seorang
telah dimotori dengan akal,
mengapakah tuan menggambarkan
Allah sedemikian rupa? Mengapakah
tuan tidak pasrah terhadap hadist
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang shahih? Bukankah Allah
berfirman, yang artinya :

"Demi Rabbmu, tidaklah mereka
beriman sehingga mereka
menjadikanmu sebagai hakim dalam
perkara-perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan terhadap hukummu, dan mereka pasrah dengan sebenar-benarnya". [An-Nisa’:65]

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari
imam Az-Zuhri, dia mengatakan:
“Wahyu itu dari Allah, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya
menyampaikan, kewajiban kita hanya
pasrah dan tunduk”.

Imam Ath-Thahawy berkata:
“Tidaklah selamat seorang hamba
dalam agamanya kecuali apabila dia
tunduk dan pasrah terhadap Allah
dan RasulNya n , dan mengembalikan
segala kesamaran kepada yang Maha
Mengetahui”.

Kewajiban kita dalam hadits-hadits
seperti ini adalah:

1. Beriman terhadap nash-nash yang
shahih.

2. Tidak bertanya bagaimana serta
menggambarkannya, baik dalam
fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan.
Karena hal itu termasuk berkata
terhadap AIllah tanpa ilmu,
sedangkan Allah tidak dapat
dijangkau oleh fikiran.

3. Tidak menyerupakan sifatNya
dengan sifat makhluk. Allah
berfirman, yang artinya :

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa
denganNya, dan Dialah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui".
[As-Syura:11]

Jika kita memahami kewajiban ini,
maka tidak akan ada lagi kerancuan
dalam hadits nuzul atau lainnya yang
menerangkan sifat-sifat Allah. Yang
penting, jika tiba sepertiga malam
terakhir maka Rabb turun ke langit
dunia, sebagaimana yang diberitakan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.

Hal. 276 : “Yang benar, ialah tafsiran
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa
pintu rahmat tuhan lebih terbuka
pada sepertiga malam terakhir,
menurut waktu setempat, karena itu
berdoalah pada waktu itu”.

Jawaban : Inilah yang dinamakan
ta’wil! sebuah ta’wil yang dibangun di
atas hujjah anak-anak dan wanita,
sebuah ta’wil yang telah dikikis bersih
oleh Syeikhul Islam sendiri dalam
‘Majmu’ Fatawa” 5/415-517.

Tidak ada seorang sahabatpun yang
menta’wil seperti ini... camkanlah
baik-baik perkataan lbnu Taimiyyah
berikut ini: “Sesungguhnya aku telah
menelaah tafsir-tafsir yang dinukil
dari kalangan sahabat dan apa yang
mereka riwayatkan dari hadits-hadits
nabi, dan aku telah membaca kitab-
kitab, baik yang besar maupun kecil
lebih dari seratus buku tafsir, akan
tetapi sampai saat ini saya tidak
mendapatkan seorangpun dari
sahabat yang menta’wil satupun dari
ayat-ayat sifat maupun hadits…” .

Cukuplah sebagai renungan kita
bersama “Apakah rahmat Allah
mampu untuk mengatakan:
“Barangsiapa yang berdoa kepadaKu
akan Kukabulkan, siapa yang
meminta kepadaKu akan Kuberi”,
sungguh amatlah mustahil sekali!!
sekalipun bagi orang-orang yang
bodoh.

Syeikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin
Abdillah bin Baaz berkata
membantah ta’wil-ta’wil seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata
sekali, bertentangan dengan nash-
nash shahih yang menetapkan nuzul
(turunnya) Allah. Pendapat yang
benar, ialah pendapat salaf shaleh,
yaitu meyakini turunnya Allah dan
memahami riwayat itu sebagaimana
datangnya, tanpa takyif
(membagaimanakan), dan tanpa
tamtsil (menyerupakan dengan
makhluk). lnilah jalan yang paling
benar, paling selamat, paling cocok,
dan paling bijaksana. Pegangilah
keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi
gerahammu serta berhati-hatilah dari
keyakinan¬-keyakinan yang
menyelisihi ini, Semoga engkau
bahagia dan selamat”.

PASAL 3
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM
ZIARAH KUBUR

Hal, 274 : “Ibnu Taimiyyah
mengharamkan orang yang ziarah ke
makam nabi di Madinah, dan
perjalanan itu (kalau dilakukan)
dianggap ma’siat menurut Ibnu
Taimiyyah”.

Hal, 278 : “Walaupun kebanyakan
umat Islam tidak mau mengikut, tapi
sejarah Islam telah mencatat bahwa
ada seorang ulama’ Islam di Damsyik
pada abad 7H, yang mengharamkan
ziarah ke makam nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu
Ibnu Taimiyyah”.
.
Jawaban: “Masalah ini bukanlah
masalah baru, dan tuduhan ini
bukanlah tuduhan yang baru pula,
pada masa beliau sudah ada yang
membuat kedustaan atas beliau
dalam hal ini.
Agar tidak ada salah faham dalam
masalah ini, maka hendaklah dicermati
baik-baik. Kami katakan:
“Sesungguhnya Syeikhul Islam lbnu
Taimiyyah tidaklah mengharamkan
ziarah kubur yang syar’i, baik kuburan
Nabi atau lainnya. Akan tetapi yang
beliau larang adalah ziarah kubur
bid’i (secara bid’ah), seperti
mengadakan penjalanan dengan
tujuan ziarah kubur, sebagaimana
sering dilakukan banyak orang,
terutama di Indonesia ini. Larangan
itu berdasarkan hadits, bahwasanya
Rasulullah bersabda:

"Janganlah mengadakan perjalanan
kecuali menuju tiga masjid: Masjidil
Haram, Masjidku ini(masjid Nabawi)
dan masjidil Aqsha".

Sesungguhnya orang yang mau
membaca kitab-kitab Syeikhul Islam
lbnu Taimyyah dengan adil dan jujur,
niscaya ia akan mengetahui bahwa
beliau sama sekali tidak
mengharamkan ziarah kubur
sebagaimana tuduhan penulis ini.

Perhatikanlah perkataan beliau
berikut ini baik-baik: “Telah aku
jelaskan dalam kitabku tentang
manasik haji, bahwa bepergian ke
masjid Nabawi dan menziarahi kubur
beliau – sebagaimana diterangkan
imam kaum muslimin dalam
manasik- merupakan amal shaleh
yang dianjurkan…” Beliau juga
berkata: “Barangsiapa yang bepergian
ke Masjid Haram, Masjid Aqsha atau
Masjid Nabawi, kemudian shalat di
masjidnya, lalu menziarahi kubur
beliau sebagaimana Sunnah Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ini
merupakan amal shaleh. Barangsiapa
mengingkari safar seperti ini, maka
dia kafir diminta taubat, jika bertaubat
itulah yang diharapkan. Jika tidak
maka dibunuh.
Adapun seseorang yang melakukan
perjalanan hanya untuk ziarah kubur
semata, sehingga apabila sampai di
Madinah, ia tidak shalat di masjidnya,
tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi
alu pulang, maka orang ini mubtadi’
(ahli bid’ah) yang sesat, dan
menyesatkan karena menyelisihi
Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan
para ulama’ umat ini”.

Barangsiapa yang membaca kitab
“ArRaddu ‘ala Al-Akhna’i” dan “Al-
Jawabul Al-Baahir Liman Sa’ala ‘an
Ziyaratil Kubur” karya Ibnu Taimiyyah,
ia akan yakin dengan apa yang kami
uraikan.

Hal ini dikuatkan oleh murid-murid
beliau di antaranya.

1. Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi, beliau
berkata dalam ‘As Sharim Al-Munky”
Hal; 15: “Hendaklah diketahui,
sebelum membantah orang ini (as-
Subkiy) bahwasanya Syeikhul Islam
lbnu Taimiyyah tidaklah
mengharamkam ziarah kubur yang
syar’i dalam kitab-kitabnya. Bahkan
beliau sangat menganjurkannya.
Karangan-karanganya serta manasik
hajinya adalah bukti atas apa yang
saya katakan”.

2. Al-Hafidz lbnu Katsir, beliau berkata
dalam “Al Bidayah Wa An-Nihayah”
14/123: “Dan Syeikh lbnu Taimiyyah
tidaklah melarang ziarah kubur yang
bersih dari kebid’ahan, seperti
bepergian/safar untuk ziarah kubur.
Bahkan beliau mengatakan
sunnahnya ziarah kubur, kitab-
kitabnya dan manasik-manasik
hajinya adalah bukti hal itu, beliau
juga tidak pernah mengatakan
haramnya ziarah kubur dalam fatwa-
fatwanya, beliau juga tidak jahil
dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam : “Ziarahlah karena hal itu
dapat mengingatkan kalian dengan
akherat”. Tetapi yang beliau larang
adalah bepergian/safar untuk ziarah.
Jadi ziarah kubur itu suatu masalah
dan bepergian dalam rangka ziarah
kubur itu masalah lain lagi”

Sebagai penutup pembahasan ini
kami kutipkan pula perkataan
Al-‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani,
beliau berkata dalam “Silsilah Ahadits
adh-Dhaifah” 1/124, no: 47:
“Perhatian: Banyak orang menyangka
bahwa Syeikhul Islam Ibnu Iaimiyyah
dan orang-orang yang sejalan
dengannya di kalangan salafiyin
melarang ziarah kubur nabi. Ini
merupakan kedustaan dan tuduhan
palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah
perkara yang baru. Orang yang mau
menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah
akan mengetahui bahwa beliau
mengatakan disyariatkannya ziarah
kubur nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan syarat tidak diiringi
dengan kemungkaran-kemungkaran
dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti
bepergian/safar ke sana, berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Janganlah mengadakan
perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Yang dikecualikan dalam hadits ini
bukanlah masjid saja sebagaimana
persangkaan kebanyakan orang,
tetapi setiap tempat yang dijadikan
taqarrub kepada Allah, baik berupa
masjid, kuburan, atau selainnya. Hal
ini berdasarkan dalil yang
diriwayatkan Abu Hurairah, ia
berkata; “Aku berjumpa dengan
Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary,
lalu dia bertanya kepadaku: “Dari
mana kamu ? jawabku: “Dari bukit
Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku
mengetahui sebelum kepergianmu ke
sana, niscaya engkau tidak akan jadi
pergi ke sana, aku mendengar
Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh
mengadakan perjalanan kecuali ke
tiga masjid”.

Ini merupakan dalil yang sangat jelas
bahwa para sahabat memahami
hadits ini dengan keumumannya.
Hal ini juga dikuatkan dengan tidak
adanya penukilan dari seorang
sahabatpun bahwa mereka
mengadakan perjalanan ke kuburan
siapapun. Semoga Allah merahmati
orang yang mengatakan:

“Setiap kebaikan adalah dengan
mengikuti kaum salaf.
Dan setiap kejelekan adalah dengan
mengikuti kaum khalaf”.

PASAL 4
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM
TAKFIR

Hal 301-302 : Penulis memberikan
judul “Lekas-lekas menghukumi kafir”
kemudian berkata: “…ayat-ayat yang
khusus turun untuk mencela orang-
orang kafir dipasangkan oleh Ibnu
Taimiyyah untuk orang Islam yang
menziarahi kubur, untuk orang Islam
yang berdo’a dengan tawassul. Inilah
sikap lbnu Taimiyyah yang radikal.
Sikap lbnu Taimiyyah ini sama
dengan sikap Khawarij yang
mengkafirkan sayyidina Muawiyyah
Cs, pendeknya setiap orang yang
tidak sesuai dengan pahamnya
adalah kafir, halal darah dan hartanya”.

Jawaban: Lihatlah wahai pembaca,
bagaimana penulis ini sembarangan
mengeluarkan kata-katanya!
Allah berfirman, yang artinya :

"Dan barangsiapa yang mengerjakan
kesalahan atau dosa, kemudian
dituduhkannya kepada orang yang
tidak bersalah, maka sesungguhnya
ia telah berbuat suatu kebohongan
dan dosa yang nyata". [An-Nisa:112]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah bersih
dari tuduhan semacam ini bahkan
beliau berkata: “Sesungguhnya orang
yang selalu duduk bersamaku akan
mengetahui bahwa aku termasuk
manusia yang paling melarang dari
lekas-lekas menghukumi seseorang,
baik dengan kafir atau fasik, sampai
tegak hujjah kepadanya lantas orang
tersebut menyelisihinya, maka dapat
dihukum kafir, fasik atau maksiat.
Dan saya menyakini bahwa Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah
mengampuni kesalahan umat ini,
baik kesalahan-kesalahan dalam
perkataan dan perbuatan”.

Beliau melanjutkan: “Adapun takfir
(menganggap kafir), ini termasuk
ancaman yang keras. Memang
barangkali seseorang melakukan
perbuatan kufur, tetapi pelakunya
bisa jadi baru masuk Islam, atau
hidup di perkampungan yang jauh
dan agama, maka orang seperti ini
tidak dapat dikafirkan sehingga tegak
hujjah atasnya, atau bisa jadi orang
tersebut belum mendengar nash-
nash, atau mendengarnya tetapi
masih rancu, maka seperti ini sama
seperti yang di atas, sekalipun ia
salah.
Dan seringkali aku mengingatkan
saudara-saudaraku dengan hadits
Bukhari-Muslim tentang seorang yang
mengatakan: “Jika aku telah
meninggal maka bakarlah aku,
kemudian tumbuklah halus-halus,
lalu buanglah ke lautan. Kalau
memang Allah Subhanahu wa Ta'ala
membangkitkanku, maka Dia akan
menyiksaku dengan siksaan yang
tidak pernah ada di alam ini”.
Akhirnya merekapun melaksanakan
wasiat tersebut. Tatkala Allah
Subhanahu wa Ta'ala
membangkitkannya, Allah
Subhanahu wa Ta'ala bertanya
kepadanya: “Apa yang membuatmu
melakukan ini?” jawabnya: “Aku takut
kepada-Mu”, lantas Allah
mengampuninya” [HR. Bukhari no.
6481 dan Muslim no.2756]

Lihatlah orang ini, yang ragu akan
kemampuan Allah dan kebangkitan
manusia setelah mati bahkan ia
meyakini bahwa dia tidak akan
dibangkitkan, jelas ini merupakan
kekufuran dengan kesepakatan kaum
muslimin, tetapi dia jahil/bodoh, tidak
mengetahui hal itu dan dia takut
siksaan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
maka Allahpun mengampuninya”.
[Majmu' Fatawa, 3/229-231]

Kami kira perkataan beliau sudah
cukup jelas untuk membantah
tuduhan penulis ini.

Hal 302-303 : “Manusia -menurut
kaum Ahlus Sunnah Wal Jamaah-
apabila telah mengucap kalimat
syahadat, telah mengakui dalam
hatinya bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad itu Rasul-Nya
maka orang itu sudah mukmin dan ia
tidak menjadi kafir dengan berbuat
dosa, walaupun dosa besar, selain
syirik. Paham yang mengatakan
bahwa si pembuat dosa besar adalah
kafir itu adalah paham kaum Khawarij
… . Sikap lbnu Taimiyyah sangat
lancang menuduh orang dengan kafir
kalau tidak sefaham dengannya”.

Jawaban : “Memang benar seorang
mukmin tidak menjadi kafir dengan
berbuat dosa, kami tidak mengingkari
hal itu. Tetapi masalahnya, apakah
Ibnu Taimiyyah menyelisihi paham
ini, sehingga ia mengikuti paham
Khawarij yang mengkafirkan orang
yang berbuat dosa besar -
sebagaimana orang memahami
perkataan penulis di atas- ?!!

jawabnya: “Syaikhul Islam lbnu
Taimiyyah amat jauh dari
pemahaman Khawarij ini, bahkan
beliau adalah orang yang
memberantas pemahaman ini.

Beliau berkata: “Termasuk pokok-
pokok ajaran Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah bahwa Ad-dien dan
iman itu berupa perkataan dan
perbuatan, perkataan hati dan lisan,
serta perbuatan hati, lisan dan
anggota badan. Dan iman itu bisa
bertambah dan berkurang.
Walaupun demikian, mereka tidak
mengkafirkan orang Islam hanya
dengan sebab maksiat atau dosa
besar -sebagaimana yang dilakukan
Khawarij-, tetapi mereka berkeyakinan
bahwa persaudaraan iman tetap ada,
walaupun terjadi kemaksiatan pada
saudara kita, sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman
tentang ayat Qishas, yang artinya :

"Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema’afkan)
mengikuti dengan cara yang baik."
[Al-Baqarah :178]

Dan Allah juga berfirman, yang
artinya :

"Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang
maka damaikanlah antara keduanya."
[Al-Hujurat : 9]

Dalam ayat pertama, Allah menyatakan bahwa orang yang membunuh masih termasuk saudaranya. Sedangkan
dalam ayat kedua Allah manyatakan
dua kelompok yang saling berperang
itu masih termasuk orang-orang
mukmin. [Majmu' Fatawa, 3/161]

Beliau juga menegaskan: “Setiap
orang yang mau memperhatikan
perkataan Khawarij dan Murjiah
dalam masalah iman, ia akan
mengetahui bahwa keduanya
menyimpang dari ajaran Rasul...
Demikian pula setiap muslim akan
mengetahui bahwa peminum khamr,
pezina, pencuri dan lain-lain tidak
dikatakan oleh nabi bahwa mereka
telah murtad dan wajib dibunuh,
tetapi Al-Quran dan hadits-hadits
mutawatir menjelaskan bahwa
mereka mendapatkan hukuman yang
berbeda dengan hukuman orang
orang murtad. Sebagaimana Allah
menyebutkan dalam Al-Qur’an
hukuman bagi pezina (muhshon/
yang sudah menikah) dengan rajam
dan pencuri dengan potong tangan.
Seandainya mereka murtad, tentu
nabi akan membunuh mereka. Jadi
dua pendapat ini (Murjiah dan
Khawarij) sangat rusak dan rusak
sekali”. [Majmu' Fatawa, 7/287-288]

Maka jawablah sendiri wahai
pembaca tuduhan penulis di atas.

PASAL 5
IBNU TAIMIYYAH DAN TARIKAT SUFI

Hal 303 : “lbnu Taimiyyah
menfatwakan bahwa sekalian tarikat-
tarikat sufiyah yang banyak diamalkan
oleh umat Islam pada zamannya itu
haram”.

Jawaban: “Sekali lagi kita bertanya-
tanya, “Benarkah sikap lbnu
Taimiyyah menyesatkan sufi?
Apakah dia salah jika menyatakan
sesat sesuatu yang memang berhak
dinyatakan sesat?
Jawablah wahai orang yang berakal !

Oleh karena itu kami tegaskan bahwa kaum sufiyah adalah kaum yang sesat
dan menyesatkan. Mengapa demikian?

Syeikhul Islam menjawab: “Mereka
adalah kaum Ahlul ahwa’ (yang
mengikuti hawa nafsu) yang
beribadah kepada Allah dengan
berdasarkan hawa nafsu mereka
sendiri bukan dengan tuntunan Allah
dan rasulNya.
Allah berfirman, yang artinya :

"Dan siapakah yang lebih tersesat
daripada orang yang men gikuti
hawa nafsunya dengan tidak
mendapat petunjuk dari Allah".
[Al-Qashas : 50]

Oleh karena itu, kebanyakan mereka
telah dibutakan dengan hawa nafsu,
mereka tidak mengenal siapa yang
mereka sembah. Mereka sangat
begitu mirip sekali dengan kaum
Nashara yang dikatakan Allah dalam
kitab-Nya, yang artinya :

Katakanlah: “Hai Ahlu kitab,
Janganlah kamu berlebih-lebihan
dengan cara yang tidak benar dalam
agamamu Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang
yang telah sesat dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan (manusia)
dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus". [Al-Maidah:77]

Oleh karena itu kaum salaf memberi
nama ahlu bid’ah dengan Ahlu Ahwa”.

Subhanallah..., Alangkah jelasnya
perkataan ini, dan alangkah cocoknya
pada diri kaum sufi yang beribadah
kepada Allah tanpa tuntunan dan
bimbingan Rasulullah Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi
membikin cara-cara ibadah sendiri.

Hal 304 : “Cara-cara dzikir itu macam-
macam, ada sebagian yang diajarkan
oleh syeikh Abdul Qadir Al-Jailany
yang kemudian dinamai tarikat
Qodiriyyah, ada sebagian yang
diajarkan Syeikh Bahauddin
Naqshabandi yang kemudian dinamai
tarikat Naqshabadi dan lain-lain.
lbnu Taimiyyah menfatwakan bahwa
semua itu haram, tidak boleh
dikerjakan, sedang sebagian besar
ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
menfatwakan bahwa amalan tarikat-
tarikat baik, bahkan ada yang
mengatakan sangat baik. Karena
amal-amal dalam tarikat itu
dikerjakan oleh Nabi dan sahabat-
sahabat beliau juga dituntut dalam Al
Qur’an...”

Jawaban : Kami heran dengan
penulis. Alangkah beraninya berdusta
dalam syari’at yang mulia ini. Untuk
mempenjelas masalah ini, hendaklah
diperhatikan dua hal:

1. Perlu diketahui bahwa tidak ada
seorangpun dari kalangan para
ulama’ salaf yang mengingkari bila
dzikir itu termasuk ibadah dan
dianjurkan dalam Islam. Bahkan lbnu
Taimiyyah, lbnu Qoyyim, atau
Muhammad lbnu Abdul Wahhab.
Lebih-lebih lbnu Taimyyah yang
pernah mengatakan tentang
pentingnya dzikir;

Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan,
bagaimanakah keadaan ikan jika
berpisah dengan air.
[Lihat Al-Wabil Ash-Shaib hal. 63 Ibnul Qoyyim, Daar Kitab Araby]

2. Inilah yang penting, dan inilah yang
akan kami perpanjang sedikit karena
inilah yang menjadi titik
permasalahan. Yaitu, perlu diketahui
bahwa tidak semua hal yang baik
dapat menjadi baik jika dilakukan
bukan sebagaimana mestinya. Seperti
sholat, semua kita mengakui jika
sholat merupakan ibadah utama dan
termasuk rukun Islam kedua. Tetapi
apakah shalat menjadi baik jika
dikerjakan bukan pada waktunya?
atau ditambah jumlah rakaatnya?
Tentu saja tidak! Bahkan semua kita
akan mengatakan bahwa hal itu
sangat tercela. Demikian pula ibadah-
ibadah lainnya, seperti juga dzikir ini.
Karena seluruh amal ibadah kita tidak
diterima di sisi Allah kecuali apabila
memenuhi dua persyaratannya:

Pertama : lkhlas kepada Allah, bersih
dari riya’ dan sum’ah.

Kedua:lttiba’ yaitu sesuai dengan
contoh Nabi yang mulia.

Dua syarat ini harus terpenuhi dalam
setiap ibadah, ikhlas tanpa ittiba’
batal, demikian juga sebaliknya ittiba’
tanpa ikhlas batal juga. Fahamilah!

Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah
berkata: “Tidak syak (ragu) lagi bahwa
dzikir dan doa merupakan ibadah
yang mulia, tetapi ibadah itu
dibangun di atas ittiba’ (mencontoh
As-Sunnah) bukan Ibtida’ (membuat
cara sendiri) dan hawa. Doa dan
dzikir yang dicontohkan Nabi itulah
doa dan dzikir yang paling mulia dan
selamat... Dan tidak boleh bagi
seseorang membuat dzikir-dzikir atau
doa yang tidak dicontohkan lalu
dijadikannya sebagai ibadah yang
dipraktekkan manusia, seperti setelah
shalat fardhu, ini termasuk
kebid’ahan dalam agama.
Mengapakah kita tidak merasa cukup
dengan dzikir-dzikir yang
dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, ataukah kita merasa lebih
bertaqwa daripada beliau ?
[Majmu' Fatawa, 22/510-511]

Untuk lebih memperjelas masalah ini,
kita ambil satu contoh dari dzikir-
dzikir sufi yang salah ditinjau dari sisi
ittiba’nya, bukan keikhlasannya,
karena itu adalah amalan hati yang di
luar pengetahuan kita.

Hal 304 : “Penulis mengatakan “Ada
ahli tarikat yang membaca dzikir:
Allah, Allah, Allah, Allah..beribu-ribu
kali atau berjuta-juta dengan dalil,
yang artinya :

"Wahai orang-orang yang beriman
berdzikirlah kalian dengan dzikir yang
banyak". [Al Ahzab: 41]

Jawaban : Dzikir semacam ini adalah
dzikir tarikat sufiyah, seperti
Qadiriyyah dan lain-lain. Yaitu
dengan mengulang-ulang lafadz
“Allah”, atau cukup dengan dhomir
(kata ganti) “Huwa”. Perlu kita ketahui
bahwa dzikir-dzikir semacam ini
merupakan dzikir yang dinisbatkan
secara dusta kepada Syeikh Abdul
Qodir Jailani. Beliau tidak pernah
berdzikir seperti ini ataupun
mengajarkannya. Tunjukkan hujjah
kalian jika kalian orang-orang yang
jujur !!“
[Lihat kitab Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Wa Aaraauhu hal. 655
oleh DR. Said Ibnu Misfhar Al-Qaththany]

Dzikir seperti ini juga bid’ah, tidak ada
contohnya, bahkan tidak ada yang
mengatakan bahwa seperti ini
termasuk dzikir atau doa.

Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah
berkata: “Isim mufrad (kata benda
tunggal) tidaklah memiliki kata yang
memiliki berarti menurut seluruh
penduduk langit dan bumi. Oleh
karena itu para ulama’ menganggap
bid’ah apa yang dikerjakan para sufi
yang berdzikir hanya dengan lafadz
“Allah” karena Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

"Sebaik-baik dzikir adalah La Ilaha illa
Allah, sebaik-baik doa adalah Al-
Hamdulillah dan Allahu Akbar".
[Lihat Ash-Shahihah no. 1497]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
telah mengajarkan para sahabatnya
berdzikir tetapi dengan kalimat yang
sempurna. [Majmu' Fatawa, 10/226]

Beliau juga berkata: “Dan dzikir
dengan dhamir (kata ganti) “Huwa”
atau dengan isim mufrad (kata
tunggal) “Allah” lebih jauh dari As
Sunnah dan lebih mendekati
kebid’ahan dan kesesatan syetan".
[Majmu' Fatawa, 10/227-233]

Lebih jelas lagi mari kita perhatikan
dua alasan berikut ini:

1. Kisah yang shohih dan masyhur
tentang pengingkaran Abdullah bin
Mas’ud terhadap orang-orang yang
dzikir berhalaqoh-halaqoh (duduk
berlingkar-lingkar), bertakbir, bertahlil
dan bertasbih dengan cara yang tidak
pernah dicontohkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di akhir
cerita itu lbnu Mas’ud berkata kepada
mereka: “Kalian lebih benar dari
agama Muhammad ataukah kalian
pembuka pintu kesesatan? Mereka
menjawab: “Demi Allah, wahai Abu
Abdirrahman (kunyah/panggilan
Abdullah bin Mas’ud), Kami tidak
melakukan ini kecuali demi kebaikan.”
Beliau menjawab: “Betapa banyak
orang yang menginginkan kebaikan
tetapi tidak mendapatkannya.”
[Lihat Ash-Shahihah, no. 2005]

Apakah kita menyangka bahwa
sahabat Abdullah bin Mas’ud
mengingkari dzikir? Tentu tidak,
karena beliau tidak mengingkari dzat
dzikir tersebut, tetapi yang beliau
ingkari adalah cara mereka yang tidak
sesuai dengan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani berkata: “Dalam kisah ini
terdapat pelajaran bagi kaum
Thariqat dzikir yang menyelisihi As-
Sunnah. Sungguh sangatlah
menggelikan jawaban mereka ketika
kita ingkari perbuatan mereka,
dengan menuduh bahwa kita
mengingkari dzikir! Padahal tidak ada
seorang muslimpun di dunia ini yang
mengingkari dzikir, karena ini
merupakan kekufuran. Akan tetapi
yang mereka ingkari adalah cara-cara
bid’ah dalam dzikir tersebut, kalau
tidak, lantas apa yang diingkari
Abdullah bin Mas’ud terhadap
mereka? bukankah yang diingkari
adalah perkumpulan yang
ditentukan, bilangan yang ditentukan
dan cara-cara bid’ah lainnya”.

2. Nafi’ berkata: “Pernah seseorang
bersin di samping lbnu Umar lalu
orang itu berkata:

"Maka lbnu Umar berkata: “Saya juga
memuji Allah dan bersholawat atas
Rasulnya tapi bukan seperti ini
(setelah bersin) cukuplah dengan
Alhamdulillah".
[HR. Tirmidzi, no. 2738]

Apakah kita menuduh bahwa lbnu
Umar mengingkari dzikir dan
sholawat? demi Allah tidak!
Melainkan mengingkari tatkala lafadz
itu diletakkan bukan pada tempatnya
seperti setelah bersin. Fahamilah!

Sebagai penutup mari kita perhatikan
atsar/riwayat berikut ini: Dari Said bin
Musayyib, ia melihat seorang laki-laki
menunaikan sholat setelah fajar lebih
dari dua rakaat, ia memanjangkan
rukuk dan sujudnya. Akhirnya Said
bin Musayyib pun melarangnya.
Orang itu berkata: “Wahai Abu
Muhammad, apakah Allah akan
menyiksaku dengan sebab shalat?”
Beliau menjawab tidak, tetapi Allah
akan menyiksamu karena menyelisihi
As-Sunnah” [Imam Al-Baihaqi, Sunan Kubro 2/466]

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani mengomentari atsar ini dalam
“Irwaul GhaliI” 2/236: “Ini adalah
jawaban Said bin Musayyib yang
sangat indah. Dan merupakan senjata
pamungkas terhadap para ahlul
bid’ah yang menganggap baik
kebanyakan bid’ah dengan alasan
dzikir dan shalat, kemudian
membantah Ahlus Sunnah dan
menuduh bahwa mereka (Ahlu
sunnah) mengingkari dzikir dan
shalat! padahal sebenarnya yang
mereka ingkari adalah
penyelewengan ahlul bid’ah dari
tuntunan Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam dzikir, shalat dan lain-
lain”.

Semoga kita semua dapat memahami
masalah ini dengan baik.

PASAL 6
TUDUHAN DAN JAWABAN

Hal 307 : Menurut kitab fashul aqwal
hal. 32 lbnu Taimiyyah telah
melanggar dan merongrong 16 ijma’
yaitu kesepakatan imam-imam
mujtahid dalam suatu masa:

1. Bersumpah dengan thalak tidak
membikin jatuh thalak, tapi hanya
suami diwajibkan membayar kafarat
sumpah.
2.Talak ketika istri membawa haidh
tidak jatuh.
3. Talak diwaktu suci disetubuhi tidak
jatuh.
4. Sembahyang yang ditinggalkan
dengan sengaja tidak diqadha’.
5. Talak tiga sekaligus hanya jatuh
satu.
6. Orang yang junub (habis
bersetubuh dengan istrinya) boleh
melakukan sembahyang Sunnah
malam tanpa mandi lebih dahulu.

Jawaban: 6 point di atas tidak keluar
dari dua perkara:
Pertama : Dusta, yaitu mengatakan
perkara tersebut merupakan ijma’
padahal bukan.
Kedua: Dusta, yaitu mengatakan
bahwa ini perkataan Ibnu Taimiyah.
Contohkan saja seperti masalah
nomor 2,4 dan 5 semua ini adalah
masalah fiqhiyah khilafiyah (masalah
fiqih yang diperselisihkan para
ulama), bukan masalah ijma’
sebagaimana keterangan di atas
bahwa Ibnu Taimiyah melanggar dan
merongrong ijma’.
Baiklah kita ambil dua masalah saja di
sini agar jelas bagi kita kedustaan
tuduhan ini.
Masalah pertama, nomor 4: Shalat
yang ditinggalkan dengan sengaja
apakah di qadha’ atau tidak? Ini
adalah masalah khilaf (perselisihan)
bukan ijma’, perhatikan perkataan
Al-‘Allamah Shidiq Hasan Khan: “Para
ulama berselisih tentang qadha’
shalat yang tertinggal tanpa udzur.
Jumhur (mayoritas) ulama
berpendapat wajibnya qadha’,
namun Dawud Ad-Dhahiri, Ibnu
Hazm dan sebagian sahabat Syafi’i
berpendapat bahwa tidak ada qadha’
bagi orang yang meninggalkan shalat
dengan sengaja, orang itu hanya
berdosa dengan perbuatannya
tersebut, inilah pendapat Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah”.
[Lihat At-Ta'liqat Ar-Radhiyah Ala Raudhah Nadiyyah 1/356 oleh
Al-Albani]

Lihatlah wahai saudaraku apakah
masalah ini ijma’ atau khilaf?
Tunjukkanlah bukti kalian jika
masalah ini ijma’! Periksalah kitab-
kitab di bawah ini ; Majmu’ Fatawa
22/42 dan setelahnya. Kitab Ash-
Shalah, hal: 53-58 oleh lbnu Qoyyim.

Demikian juga masalah no 5: Thalak
tiga sekaligus, apakah terhitung satu
atau tiga? Ini juga masalah khilaf
bukan ijma’, hal ini sangat jelas bagi
mereka yang membaca kitab-kitab
ulama’ kita.
Imam Nawawi berkata dalam “Syarh
Shahih Muslim” 10/57: “Para ulama’
berselisih tentang orang yang
mengatakan kepada istrinya: “Aku
cerai kamu tiga kali sekaligus!”, Imam
Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan Ahmad
serta jumhur ulama’ salaf dan khalaf
berpendapat jatuh tiga. Tetapi
sebagian ulama’ lainnya, seperti
Thawus dan sebagian Dhahiriyyah
berpendapat bahwa thalaknya jatuh
satu saja, ini juga riwayat dari Muqotil
dan Ibnu Ishaq. Dalil mereka adalah
hadits Ibnu Abbas ini.”
Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajar heran
terhadap orang yang mengatakan
tidak adanya perselisihan dalam
masalah ini, beliau berkata dalam
“Fathul Bari” 9/363: “Sungguh
mengherankan lbnu Thin yang
manyatakan bahwa masalah thalak
tiga jatuh sekaligus tidak ada
perselisihan di padanya, padahal
perselisihan sangatlah nampak
seperti yang anda lihat sendiri.”
Demikian juga Imam As-Syaukani
menyebutkan dalam “Nailul Authar”
6/654-658: “Ketahuilah bahwa ada
perselisihan dalam masalah thalak
tiga sekaligus ini, apakah jatuh
semuanya atau tidak...”

Sebagai pencari kebenaran dalam
masalah seperti ini adalah dengan
cara kembali menelaah dalil-dalil yang
ada, lalu memilih yang lebih kuat.
Periksalah: Majmu’ Fatawa 33/91 dan
setelahnya I’lamul Muwaqqi’in
3/30-35 oleh lbnu Qoyyim Nailul
Authar 6/654-658 oleh imam As
Syaukany

Hal 308 : Selanjutnya penulis
meneruskan penukilan keji itu:
7. Syarat si waqif tidak dipedulikan.
8. Orang yang mengingkari ijma’
bukan kafir dan bukan fasik.
9. Tuhan itu tempat yang hadits
(baru) dengan arti tuhan menjadi
tempat bagi sifatnya yang baru.
10. Dzat tuhan tersusun yang satu
berkehendak dari yang lain.
11. Qur’an itu baru bukan qodim.
12. Tuhan bertubuh, berjihat, dan
berpindah-pindah tempat,
13. Alam itu qodim.
14. Neraka akan lenyap.
15. Tuhan sama besar dengan arsy
16. Nabi tidak ma’shum.

Jawaban : Alangkah keji perkataan
yang keluar dan mulut-mulut mereka!
Kedustaan tuduhan¬-tuduhan ini
tidak samar lagi bagi orang yang mau
membaca buku-buku Ibnu
Taimiyyah.
Agar jelas bagi kita kedustaannya
maka kita ambil dua contoh saja.
Masalah 14 : Tuduhannya bahwa
Ibnu Taimiyyah mengatakan neraka
fana dan tidak kekal, padahal beliau
berkata dalam “Majmu’ Fatawa” 18/
307: “Para salaf dan imam-imam
serta seluruh Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berpendapat bahwa di
antara makhluk-makhluk yang tidak
fana selamanya adalah surga, neraka,
arsy dan lainnya”

Beliau juga mengatakan dalam “Dar’u
Ta’arudhil Aqli Wa Naqli” 2/358:
“Seluruh Ahlu Islam mengatakan
bahwa surga dan neraka tidak ada
akhirnya, keduanya senantiasa kekal
tidak fana. Demikian juga penduduk
surga akan senantiasa di surga
dengan kenikmatannya dan
penduduk neraka akan kekal dalam
neraka dengan kepedihannya.
Keduanya hanyalah Allah yang
mengetahui akhirnya.”

Masalah 16 : Tuduhannya bahwa
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa
para nabi tidak ma’shum, padahal
beliau sendiri mengatakan dalam
“Majmu’ Fatawa-10/289-290: “Untuk
mengungkap masalah ini perlu
ditegaskan bahwa para nabi, mereka
adalah ma’shum dalam apa yang
mereka sampaikan dari Allah dengan
kesepakatan kaum muslimin...
berbeda dengan selain para nabi,
mereka tidak ma’shum sekalipun
mereka wali-wali Allah. Oleh karena
itu barangsiapa yang menghina nabi
maka dia harus dibunuh adapun
menghina selainnya maka tidak.”

Inilah beberapa contoh kedustaan-
kedustaan dan kebohongan-kebo
hongan yang ada dalam buku ini.
Semoga apa yang kami jelaskan ini
bermanfaat bagi kita semua, kaum
muslimin, dan apabila terdapat hal-
hal yang keliru atau terkesan kasar
maka kami meminta maaf. Semoga
ma’lum.

Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun VI/1422H/2002M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 08121533647, 08157579296]

Mau Yang HOT HOT