Adab Santun Penuntut Ilmu Syar’i Terhadap Gurunya

Adab Santun Penuntut Ilmu Syar’i Terhadap Gurunya



Bismillahir rahmanir rahim.........

Merendah hati dalam belajar


Termasuk adab penuntut ilmu ialah menjalani hal-hal yang menyibukkan sehingga tidak boleh memusatkan perhatian untuk belajar, kecuali hal yang mesti dilakukan karena keperluan. Hendaklah dia membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran dosa supaya bisa menerima Al Qur’an, manghafal, dan memanfaatkannya.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
"Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati (Riwayat Bukhari Muslim)

Sungguh baik perkataan orang yang mengatakan: “Hati itu menjadi baik dengan ilmu sebagaimana bumi menjadi baik karena dijadikan pertanian.”

Hendaklah penuntut ilmu bersikap merendah hati terhadap gurunya dan sopan kepadanya, meskipun lebih muda, kurang terkenal, dan lebih rendah nasab dan keturunannya dari pada dia. Hendaklah penuntut ilmu bersikap merendah hati untuk belajar ilmu. Dengan sikapnya yang merendah hati dia bisa mendapat ilmu.

Seorang penyair berkata:

Ilmu itu tidak mungkin mencapai seseorang yang sombong, sebagaimana air tidak mungkin meluncur ke tempat yang tinggi
Penuntut ilmu mesti patuh kepada gurunya dan membicarakan dengannya dalam urusan-urusannya. Dia terima perkataannya seperti orang sakit yang berakal menerima nasihat dokter yang menasihati dan mempunyai kepandaian, maka yang demikian itu lebih utama.

Mengambil ilmu dari asatidzah atau ulama ahlus sunnah dan Memuliakannya
Janganlah dia belajar kecuali dari orang yang lengkap keahliannya, menonjol keagamaanya, nyata pengetahuannya dan terkenal kebersihan dirinya.

Muhammad bin Sirin dan Malik bin Anas serta para ulama salaf lainnya berkata: “Ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu.”

Penuntut ilmu mesti memuliakan gurunya dan meyakinkan kesempurnaan keahliannya dan keunggulannya dia atas golongannya karena hal itu lebih dekat untuk mendapat manfaat dari padanya. Sebagian ulama masa lalu (ulama Mutaqaddimin) apabila pergi kepada gurunya, dia sedekahkan sesuatu seraya berkata: “Ya Allah, tutupilah keburukan guruku dariku dan jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.“

Rabi, sahabat Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak berani minum air sementara Imam Asy Syafi’i memandang kepadaku karena kewibawaannya.”

Telah kami terima riwayat yang bersumber dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu katanya: “Termasuk kewajibanmu terhadap guru ialah engkau memberi salam kepada orang-orang secara umum dan mengkhususkannya dengan suatu penghormatan. Hendaklah engkau duduk di depannya dan tidak memberi isyarat di dekatnya dengan tanganmu ataupun mengedipkan kedua matamu.”

Janganlah engkau katakan kepada gurumu, "Si fulan berkata lain dari yang engkau katakan." Jangan mengumpat seseorang di dekatnya dan jangan bermusyawarah dengan kawan dudukmu di majelisnya. Jangan memegang bajunya jika dia hendak berdiri, jangan mendesaknya jika dia malas dan jangan merasa bosan karena lama bergaul denganya. Patutlah penuntut ilmu melaksanakan adab-adab yang ditunjukkan oleh Allah subhanahu wata’ala.

Hendaklah penuntut ilmu menolak celaan terhadap gurunya jika dia mampu. Jika tidak mampu menolaknya, hendaklah dia tinggalkan majelis yang mencela gurumu itu.
Santun di dalam majelis ilmu

Hendaklah penuntut ilmu masuk ke majelis gurunya dalam keadaan memiliki sifat-sifat sempurna sebagaimana yang saya sebutkan perlu ada pada guru. Antara lain dengan bersuci menggunakan siwak dan menggosokkan hati dari hal-hal yang menyibukkan. Janganlah dia masuk sebelum minta izin jika gurunya berada di suatu tempat yang perlu minta izin untuk memasukinya. Hendaklah penuntut ilmu memberi salam kepada para hadirin ketika masuk dan mengkhususkan gurunya dengan penghormatan tertentu. Dia memberi salam kepada gurunya dan kepada mereka ketika dia pergi sebagaimana disebut di dalam hadits:

“Bukanlah salam yang pertama itu lebih baik daripada yang kedua?”

Janganlah dia melangkahi bahu orang lain, tetapi hendaklah dia duduk di mana tempat majelis berakhir, kecuali jika guru mengizinkan baginya untuk maju atau dia ketahui dari keadaan mereka bahawa mereka lebih menyukai hal itu. Janganlah dia menyuruh seseorang berdiri dari tempatnya. Jika orang lain mengutamakannya, jangan diterima, sesuai dengan sikap Umar radhiallahu’anhu, kecuali jika dengan mengikutinya terdapat maslahat bagi orang-orang yang hadir atau guru menyuruhnya berbuat demikian.
Janganlah dia duduk di tengah halaqah (majelis), kecuali jika ada keperluan. Janganlah duduk di antara dua kawan tanpa izin keduanya. Tetapi jika keduanya melapangkan tempat untuknya, dia pun bolehlah duduk merapatkan dirinya.
Menghargai majelis gurunya

Hendaklah dia menunjukkan adab terhadap kawan-kawannya dan orang-orang yang menghadiri majelis guru itu. Hal itu merupakan sikap sopan terhadap guru dan pemeliharaan terhadap majelisnya. Dia duduk di hadapan guru dengan cara duduk sebagai seorang penuntut ilmu, bukan cara duduknya guru. Janganlah dia menguatkan suaranya tanpa keperluan, jangan tertawa, jangan banyak bercakap tanpa keperluan, jangan bermain-main dengan tangannya ataupun lainnya. Jangan menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa keperluan, tetapi menghadap kepada guru dan mendengar setiap perkataanya.

Memahami karakteristik gurunya

Perkara lain yang perlu diperhatikan ialah tidak belajar kepada guru dalam keadaan hati guru sedang sibuk dan dilanda kejemuan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan, kehausan, mengantuk, kegelisahan dan hal-hal lain yang dapat menghalangi guru untuk dapat mengajar dengan baik dan serius. Hendaklah dia manfaatkan waktu-waktu di mana gurunya dalam keadaan sempurna.

Termasuk sebagian dari adabnya ialah menahan ketegasan guru dan keburukan akhlaknya. Janganlah hal itu menghalangnya untuk menzhaliminya dan meyakini kesempurnaannya. Hendaklah dia mentakwilkan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan zhahir gurunya yang kelihatan tidak baik dengan takwil-takwil yang baik. Tidaklah boleh melakukan itu kecuali orang yang mendapat sedikit taufik atau tidak mendapatnya. Jika gurunya berlaku kasar; hendaklah dia yang lebih dahulu meminta maaf dengan mengemukakan alasan kepada guru dan menunjukkan bahwa dialah yang patut dipersalahkan. Hal itu lebih bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat serta lebih membersihkan hati guru.

Mereka berkata: “Barangsiapa tidak sabar menghadapi kehinaan ketika belajar, maka sepanjang hidupnya tetap dalam kebodohan. Dan barangsiapa yang sabar menghadapinya, maka dia akan mendapat kemuliaan di dunia dan akhirat.”

Senada dengan nasihat itu ialah atsar yang masyhur dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu: “Aku menjadi hina sebagai penuntut ilmu dan menjadi mulia sebagai guru.”

Alangkah indahnya ucapan penyair berikut ini:

Barangsiapa tidak tahan merasakan kehinaan sesaat, Maka dia melalui seluruh hidupnya dalam keadaan hina.

Terus bersemangat dalam menuntut ilmu syar’i
Termasuk adab penuntut ilmu yang amat ditekankan ialah gemar dan tekun menuntut ilmu pada setiap waktu yang dapat dimanfaatkannya dan tidak puas dengan yang sedikit dalam keadaan dia mampu belajar banyak.

Janganlah dia memaksa dirinya melakukan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya supaya tidak mudah bosan dan hilang apa yang diperolehnya, tentu saja ini berbeda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaan mereka.

Jika tiba di majelis guru dan tidak menemukannya, hendaknya dia menunggu dan tetap tinggal di pintunya. Janganlah meninggalkan tugasnya, kecuali jika dia takut gurunya tidak menyukai hal itu dengan mengetahui bahwa gurunya mengajar dalam waktu tertentu dan tidak mengajar ketika lainnya.

Jika mendapati guru sedang tidur atau sibuk dengan sesuatu yang penting, janganlah dia minta izin untuk masuk, tetapi bersabar sehingga dia bangun atau selesai dari kesibukkannya. Bersabar lebih utama sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dan lainnya.

Hendaklah dia mendorong dirinya dengan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu ketika lapang, dalam keadaan giat dan kuat, cerdas pikiran dan sedikit kesibukkan sebelum nampak tanda-tanda ketidak-mampuan dan sebelum mencapai kedudukan yang tinggi.

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu berkata: “Tuntutlah ilmu sebelum kamu menjadi pemimpin." Yakni bersungguh-sungguh dengan segenap kemampuanmu ketika kamu menjadi pengikut sebelum menjadi pemimpin yang diakui, kamu enggan belajar lantaran kedudukanmu yang tinggi dan pekerjaanmu yang banyak.

Inilah makna perkataan Imam Asy Syafi’i rahimahullah: “Tuntutlah ilmu sebelum engkau menjadi pemimpin. Jika engkau sudah menjadi pemimpin maka tiada lagi waktu untuk menuntut ilmu.”
Lebih utama menuntut ilmu di pagi hari
Hendaklah dia pergi kepada gurunya untuk belajar di pagi hari berdasarkan hadits Nabi shallallahu’alahi wasallam,

“Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari.”

Hendaklah dia memelihara bacaan hafalannya dan tidak mengutamakan orang lain pada waktu gilirannya karena mengutamakan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh. Lain halnya dengan kesenangan nafsu, maka hal itu disukai. Jika guru melihat adanya maslahat dalam mangutamakan orang lain pada suatu makna syar’i, kemudian menasihatinya agar berbuat sedemikian, maka dia perlu mematuhi perintahnya.
Di antara yang wajib dan wasiat yang ditekankan ialah jangan iri hati kepada seorang temannya atau lainnya atau suatu keutamaan yang dianugerahkan Allah subhanahu wata’ala kepadanya dan jangan membanggakan dirinya atas sesuatu yang diistemewakan Allah subhanahu wata’ala baginya. Telah saya kemukakan penjelasan hal ini dalam adab-adab guru.

Cara menghilangkan kebanggaan itu ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya, tetapi merupakan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala. Tidaklah patut dia membanggakan sesuatu yang tidak diciptakannya, tetapi diamanahkan oleh Allah subhanahu wata’ala padanya.
Sedangkan cara untuk menghilangkan iri hati ialah dengan menyadari bahwa hikmah Allah subhanahu wata’ala menghendaki untuk memberikan keutamaan tertentu kepada orang yang dikehendaki-Nya. Maka patutlah dia tidak menyanggahnya dan tidak membenci hikmah yang sudah ditetapkan Allah subhanahu wata’ala.[Ustadz Abu Hasan]
Mau Yang HOT HOT